Bermain di Sekolah Pindul
“Ada yang tahu surat itu apa? Hayo, ada yang tahu?” seru Kak Novi, disambut bisik-bisik bingung oleh adik-adik di Sekolah Pindul, yang terletak di kawasan wirawisata Gua Pindul, Gunung Kidul, DIY.
“Amplop, Kak!” Fitri, gadis cilik dengan rambut sebahu, memberanikan menjawab. Sontak, disambut tawa oleh teman-teman dan Kakak-kakak
“Iya, memang mengirim surat itu pakai amplop. Tapi surat itu bukan amplop artinya, ya. Siapa lagi yang tahu surat itu apa?”
“Surat itu suatu kabar yang penting, Kak!” setengah berteriak, Rafli, menjawab sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Rafli, anak laki-laki dengan bulu mata yang lentik itu memang aktif sekali.
“Ada yang tahu surat itu apa? Hayo, ada yang tahu?” seru Kak Novi, disambut bisik-bisik bingung oleh adik-adik di Sekolah Pindul, yang terletak di kawasan wirawisata Gua Pindul, Gunung Kidul, DIY.
“Amplop, Kak!” Fitri, gadis cilik dengan rambut sebahu, memberanikan menjawab. Sontak, disambut tawa oleh teman-teman dan Kakak-kakak
“Iya, memang mengirim surat itu pakai amplop. Tapi surat itu bukan amplop artinya, ya. Siapa lagi yang tahu surat itu apa?”
“Surat itu suatu kabar yang penting, Kak!” setengah berteriak, Rafli, menjawab sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Rafli, anak laki-laki dengan bulu mata yang lentik itu memang aktif sekali.
“Iya, surat memang bisa berisi suatu kabar yang penting.. “
Kalimat Kak Novi masih panjang, ia meneruskan menjelaskan sedikit teori ringan
tentang surat-menyurat. Tergerus jaman digital, memang berimbas pada minimnya pengetahuan
anak-anak mengenai dunia filateli. Teori-teori dasar mengenai teknik
berkomunikasi lewat surat barangkali mudah dilupakan begitu saja oleh anak-anak,
jika tidak langsung pada praktek. Siang itu, kami, yang menyebut diri sebagai
relawan 1 Juta Buku untuk Anak-anak Indonesia (SAJUBU), membantu mengingatkan
lagi adik-adik mengenai surat.
Sebenarnya siang itu gerimis sedang menyerbu Sekolah Pindul,
namun sama sekali tak menyurutkan semangat dan antusias adik-adik untuk bermain
sambil belajar bersama kami. Sekitar 40 anak usia TK sampai SD berkumpul di
sebuah saung lesehan yang cukup besar . Suara riuh adik-adik yang penuh dengan
rasa keingintahuan seakan berlomba dengan desibel-desibel yang dihasilkan
gerimis.
“Kak, kak, aku nulis apa lagi? Aku certain apa lagi nih?”
“Kak, kak, aku udah selesai nih!”
Sengaja kami membagi adik-adik menjadi beberapa kelompok
kecil, dibuat melingkar, dan setiap kelompok di dampingi oleh beberapa kakak-kakak
SAJUBU. Sementara relawan Sekolah Pindul yang pada hari-hari biasa mengajar
disana, untuk kali ini mereka mengamati
kami di dari bangku belakang.
Setelah sesi menulis
surat selesai, Kak Oci maju mempimpin senam ceria. Adik-adik semakin antusias,
dan ketika kami menantang mereka untuk maju ke depan, dan memimpin gerakan
senam, tak disangka hampir setengahnya mangangkat tangan, tanda bersedia. Bagi
mereka yang berani maju ke depan, diberikan hadiah berupa buku.
Senang rasanya bisa bertemu dan bermain-main dengan mereka,
adik-adik yang pemberani, penuh antusias. Mereka adalah anak-anak yang tinggal
di sekitar wirawisata Gua Pindul, yang memang rutin datang ke Sekolah Pindul. Sekolah
Pindul merupakan sekolah non-formal berbasis wisata yang didirikan oleh salah
satu putra terbaik bangsa, Mas Yudan Hermawan yang sekaligus menjabat sebagai
ketua karang taruna desa Bejiharjo, Gunung Kidul.
Sekolah yang terletak
di dalam wirawisata Gua Pindul itu, terdiri atas beberapa bangunan semi
permanen, seperti saung-saung kayu, bernuansa menyatu dengan alam, letaknya pun
di tengah-tengah wahana bermain. Beberapa hari dalam seminggu, anak-anak
berkumpul untuk diajarkan pelajaran sekolah tambahan dan keterampilan oleh
kakak-kakak relawan. Ketika kami berkunjung, tercatat tiga orang relawan yang
selalu rutin mengajar. Berdirinya Sekolah Pindul memiliki maksud agar di dalam
wirawisata Gua Pindul juga terdapat unsur pendidikan, pelatihan keterampilan,
dan kesenian. Tidak hanya anak-anak, warga sekitar wirawisata Gua Pindul yang
sudah berusia dewasa pun diajarkan bermain gamelan di Sekolah Pindul. Setiap
akhir pekan diadakan pertunjukan gamelan disana untuk dapat dinikmati oleh
wisatawan. Mas Yudan pun merencanakan pembangunan pojok baca di Sekolah Pindul,
dan beberapa pojok-pojok baca yang tersebar di area wirawisata Gua Pindul.
Harapannya, dengan adanya pojok-pojok baca, dari mulai anak-anak dan warga
setempat yang belajar di Sekolah Pindul, sampai wisatawan-wisatawan Gua Pindul
pun bisa mendapat pesan tentang pembudayaan minat baca.
Tak pernah ada kata jenuh dan bosan setiap saya bermain
dengan anak-anak, namun perjalanan keluar kota yang hanya mengandalkan libur di
akhir pekan terpaksa membuat kebersamaan kami di Sekolah Pindul menjadi amat
singkat. Meski binar-binar antusias masih sangat kentara di mata anak-anak
disana, menjelang sore kami harus menutup pertemuan dengan mereka di hari Sabtu
itu.
Tadarus Keliling:
Budaya Malam Minggu
Malamnya, kami diundang Mas Yudan, untuk menghadiri acara
rutin mingguan Omah Pasinoan, sebuah rumah baca di gunung kidul juga. Acara
yang bertajuk “Tadarus Keliling” atau Tarling, berlangsung setiap malam minggu,
dan tempatnya pun bergilir secara bergantian di rumah peserta. Pekan itu,
kebetulan Mas Yudan lah yang menjadi tuan rumah Tarling. Lepas isya kami
berkumpul di ruang tamu rumah Mas Yudan, peserta tarling sekitar 30an orang,
kebanyakan mereka adalah remaja tanggung yang merupakan anggota karang taruna
desa setempat.
Makan malam usai Tarling, di selasar rumah Mas Yudan |
Apa yang dilakukan kebanyakan remaja tanggung yang tinggal
di jantung kota setiap malam minggu? Saya terenyuh, menyelami harmoni kehidupan
di desa selalu membuat saya iri. “Tadarus Keliling” merupakan budaya yang
menjadi cermin betapa orang-orang yang tinggal disana setia dalam nilai-nilai
kesahajaan.
Ayat-ayat Alquran estafet dibacakan orang per orang. Setelah
itu, kami, yang membawa nama SAJUBU, diberi kesempatan oleh Mas Yudan untuk menyampaikan
beberapa pesan mengenai minat baca. Dari kesimpulan saya, remaja-remaja
tanggung disana sebenarnya cukup memiliki antusias minat terhadap membaca,
hanya saja memang buku-buku bacaan Omah Pasionan masih terus perlu di update.
Acara tarling dilanjut makan malam bersama, seperti layaknya
malam keakraban, suasana begitu baur. Saya kaku sekali bahasa Jawa, danmustahil
meleburkan diri dalam basa-basi bahasa Jawa, jadi saya ngobrol-ngobrol santai
dengan mereka cuek saja pakai bahasa Indonesia (yang kurang baik dan benar).
Menuntaskan Sisa
Liburan
Esoknya, pagi-pagi sekali kami menuntaskan sisa liburan
dengan diawali pengalaman cave tubing di Gua Pindul. Catatan perjalanan
menyusuri Gua Pindul sudah pernah saya tulis disini. Saya yang agak rusuh,
sedikit membuat pemandu wisata nyaris putus asa karna nirmaknanya
pertanyaan-pertanyaan saya.
“Mas, ini sungainya di kuras berapa kali sebulan?”
“Mas, yang bersihin dinding gua-nya siapa?”
“Dulu yang bikin stalagtit dan stalagnit gini gimana sih,
Mas? Keren banget deh bisa kayak gini.”
“Mas, yang niupin ban pelampungnya siapa? Niupnya gimana?
Hebat banget ini bisa niup ban segede gini.”
Yang pada akhirnya pemandu itu berkata, “Mbaknya, pernah
bunuh orang ga? Kalau ada pisau, kulitin aja deh saya Mba, daripada Mbaknya
nanya-nanya yang kayak gitu mulu, mendingan bunuh saya aja sekalian, Mba..”
Semua itu tentunya sambil sambil nyengir ya, alias bercanda.
Masih tersisa sedikit kesempatan untuk tur pantai. Menjelang
siang, Mas Yudan lah yang langsung memandu kami menuju beberapa pantai di
Gunung Kidul. Perjalanan ke pantai cukup memakan waktu, sekitar 1-1,5 jam dari
desa Bejiharjo. Kami pun hanya sempat menjajaki dua dari ribuan pantai yang
berjajar disana, Pantai Krakal dan Indrayanti. Teman-teman SAJUBU ini narsisnya
nomer wahid. Melihat kami foto setiap detik, membuat Mas Yudan geleng-geleng
heran. Maaf Mas Yudan, kadang-kadang emang orang kota lebih ndeso dari orang
desa, hahahah. Pemandangan pantai ga perlu lah dijelaskan lagi, yang perlu
dijelaskan adalah.. durasi kami ke pantai sungguhlah singkat.
Narsis nomer wahid |
Lepas tengah hari
dan makan siang, kami sudah harus menuju Lempuyangan, mengejar kereta pulang.
Dan saya, jomblo yang selalu sendiri, kala itu pun mendapat jadwal kereta
pulang paling berbeda. Teman-teman lain pulang setengah empat sore, kereta saya
jam lima sore. Antara kesian dan kepalang terpaksa, Mas Alex (relawan SAJUBU
bidang sistem informasi), dan Kak Zul (senior saya di sekolah dulu), mereka
yang memang domisilinya di Jogja, menemani saya menunggu di warung kopi sebrang
stasiun setelah teman-teman lain sudah anteng duduk di kursi kereta.
Begitulah, sedikit kenangan saya yang tertinggal di Sekolah
Pindul dan sekitarnya. Sekaligus menjadi pengalaman saya pertama kali mendarat
di Yogyakarta, meski bukan di kotanya.
(lagi-lagi catatan yang lama tersimpan sebagai draft dan baru rampung)