Sebenarnya setiap melakukan pendakian saya selalu membawa misi untuk menemukan alasan mengapa saya mendaki. Tapi yang ada, saya selalu pulang tanpa berhasil menjelaskan apapun soal alasan. Mustahil seseorang mau berpayah-payah mendaki, bahkan berulang-ulang, tanpa punya alasan. Hanya saja sulit sekali ‘membumi’kan alasan itu dalam sebentuk paragraf yang mudah ditelan bahkan oleh seorang pandir.
Mengapa mendaki gunung?
Saya pernah bilang, saya mencari kesenangan di gunung karna tidak menemukan kesenangan di darat.
Tapi apakah berjalan kiloanmeter sambil membawa beban hampir setengah berat badan, sambil kedinginan, kelaparan, ketidakmententuan, jatuh, tersangkut akar, terpeleset, kehabisan air, ditipu orang, nyasar, bisa disebut dengan kesenangan? Semua hal yang jauh dari rasa nyaman itu justru lagi-lagi dicari, lagi-lagi membuat saya kembali, kembali mendaki. Kesenangan rupanya telah berubah ruang menjadi esensi yang absurd. Tersimpul sederhana, padahal jelas bukan lahir dari perjalanan yang sepele. Mulai dari mengemis ijin orang tua, bongkar tabungan setengah caturwulan, peralatan-peralatan yang setengahnya pun adalah pinjaman.
Mengapa pendakian dengan kejamnya menjelma sebagai bentuk kerinduan? Kerinduan yang bila saya tebus dengan kembali lagi mendaki justru akan meretaskan kerinduan baru. Kerinduan dalam bentuk baru, bukan kepada manusia, bukan kepada alam, tapi kerinduan pada proses mengalami.
Semua orang bicara tentang cinta, keindahan, kebersamaan, pemandangan, puncak, sunrise, sunset, lautan awan. Awalnya saya pikir begitu, saya mendaki untuk puncak, untuk edelweis, untuk savana, untuk surga yang seakan jatuh di bumi. Tapi ternyata tanpa puncak pun, tanpa orang yang kita kenal dekat pun, dengan kabut tebal menghalang pandang pun pendakian tetap menyenangkan, selalu menyenangkan.
Semua orang bicara tentang destinasi. Bagi saya, perjalanan adalah destinasi. Mereka bilang puncak cuma bonus. Saya setuju, sedangkan kembali pulang dengan selamat adalah harga mati yang benar-benar harus ditebus. Setiap melakukan pendakian , rasa cemas itu ada, ketakutan itu nyata, tapi perasaan itulah yang harus dihadapi dengan tenang ,dengan bergantung penuh pada kebaikan alam dan takdir Tuhan. Tuhan barangkali lebih dekat dari nadi kita sendiri, tapi saat mendaki: saat meringkas jarak kita dengan langitNya, seolah menjadi ringkas juga jarak kita denganNya. Tuhan mungkin benar ada dimana-mana, tapi saat mendaki: saat kita memeluk ubun-ubun gunungNya, seakan Tuhan pun sedang meninabobokan kita dalam timanganNya. Mengenal alam dan mendekat pada semesta milikNya, adalah simbolisasi betapa kita pun ingin mengenal DIA dan mendekat padaNya.
Saat mereka bicara tentang kebanggaan, saya akan berterus terang tentang kekerdilan.
Satu momen yang paling saya suka saat mendaki adalah, ketika saya kembali merasai menjadi manusia kerdil, kecil. Betapa kecil dan kerdilnya saya adalah kenyataan yang jarang sekali saya sadari saat di kota, saat diantara manusia-manusia yang saling sikut demi harta, demi tahta dan nama. Selain di gunung, belum pernah saya menemukan tempat dimana saya berhasil meletakkan kesombongan saya di tempat yang lebih rendah dari telapak kaki. Kita tau bahwa persiapan fisik dan mental yang benar-benar matang tidak pernah menjadi garansi keselamatan kita di gunung, tidak pernah ada kondisi aman 100% untuk naik gunung. Seorang teman berkata, “Kematian tidak bisa dipercepat dengan naik gunung, dan kematian tidak bisa diperlambat dengan tidak naik gunung”.
Mengapa kebahagiaan tumpah ruah justru ketika kita jauh dari rumah?
Inikah yang disebut pelarian?
Ketika kita benci dengan rasa nyaman, ketika kita jenuh dengan hidup yang begitu aman, sengaja membuat jarak berlaksa-laksa dari rasa nyaman, dari tempat aman, adalah cara terbaik untuk kembali memuja rasa nyaman seperti pemujaan bayi terhadap harum tangan sang ibu. Setelah berhari-hari terlunta di liarnya mayapada, amannya rumah kembali menjadi tempat pulang yang paling dicari. Kejenuhan pada perjudian hidup menggelembung dan pecah. Mungkin bukan sebagai pelarian, hanya sejenak memberi jarak untuk kembali kembali dengan pemahaman dan ilham yang baru tentang hidup, tentang ‘rumah’, tentang ‘pulang’.
Seorang petualang ulung berkata, “Saya merasa punya energi dahsyat yang tidak menemukan penyaluran di kehidupan kita yang begitu aman.”
Ada ketenangan, kedamaian, kebebasan, keterasingan, penerimaan yang begitu jujur, yang belum pernah saya temukan di pantai, air terjun, maupun tempat-tempat lain selain di gunung. Kesunyian gunung yang begitu lowong menjadi pengobatan paling baik saat saya muak pada keramaian kota yang sejatinya kosong.
Dan sampai sejauh ini pun saya lagi-lagi gagal membuat konklusi “mengapa mendaki?”. Lagi-lagi saya perlu mendaki dan mendaki lagi untuk kembali menjajal misi yang belum selesai; menemukan alasan dalam bentuk paragraf yang mudah ditelan bahkan oleh seorang pandir.
Barangkali pendakian adalah kebutuhan periferal untuk roh dan jasmani saya, barangkali…..
Apa kabar langit? :)