Siapa yang Sedang Terpasung?
Aksi Dipasung Semen Jilid 2 dan
pro kontranya, menggelitik saya untuk bertanya, siapa yang (sebenar-benarnya) sedang terpasung? Dan siapa yang (sebenar-benarnya) paling bebas?
Semen yang membungkus kaki dan membatasi aktivitas para petani,
aktivis, dan relawan yang ikut dalam aksi itu mengingatkan saya kepada
tokoh dua tokoh dalam roman “Jalan Tak Ada Ujung” (1952) karya Mochtar Lubis. Sebuah roman yang begitu rapih menyusun jalur penjungkirbalikan
perspektif tentang kebebasan. Guru Isa, yang semasa fisiknya bebas, justru
begitu terpenjara jiwanya karena kepengecutannya sendiri dalam mengambil
keputusan. Ia hampir tidak memiliki keberanian dan selalu gagal dalam
mengambil tindakan-tindakan revolusioner untuk pembebasan diri. Sementara Hazil, dikisahkan sebagai seorang aktivis yang
selalu bergerak penuh kebebasan. Hingga pada suatu
akhir perjuangan kedua orang tokoh itu sama-sama terpenjara secara fisik,
keadaan yang kasat mata terlihat sama, namun justru menghadirkan refleksi yang
berbeda. Dibalik jeruji besi, Hazil merasa terpenjara juga jiwanya.. Sebaliknya, Guru Isa menganggap keterpenjaraan
fisiknya sebagai proklamir bagi kebebasan jiwanya: secara fisik terpenjara,
namun jiwanya merdeka.
Dipasung itu sakit, memang. Para petani dan
aktivis yang ikut aksi dipasung dibantu oleh relawan-relawan untuk tetap dapat berativitas
(sekadarnya). Tetapi dengan melalui cara tersebut, mereka telah
mengambil langkah perlawanan yang begitu santun untuk mempertahankan hak
dasar hidup: air, tanah, dan udara di Pegunungan Kendeng Utara. Petani-petani yang berjuang dengan beragam cara
untuk menolak pabrik semen, adalah yang merdeka jiwanya meski terpasung fisiknya. Mereka memiliki kebebasan gabungan dari Guru Isa dan Hazil. Mereka merdeka
nalar, logika, dan nuraninya saat aksi pasung semen, dan merdeka pula jiwanya saat menjadi petani. Membiarkan gerak kaki mereka terpenjara karena dicor atau
karena aksi-aksi perjuangan bentuk lain yang menguras fisik, selalu jauh lebih baik ketimbang diam tanpa perlawanan dan terpasung oleh kepengecutan.
Lalu siapa yang sebenar-benarnya sedang terpasung?
Mereka lah orang-orang pro korporasi dan pejabat berwenang yang dililit oleh kalkulasi-kalkulasi laba pabrik semen. Orang-orang yang termakan manisnya janji industrilisasi meski dengan cara melecehkan kehidupan dan inkonstitusional. Buzzer kontra aksi Kendeng Lestari yang terbelenggu nalar dan nuraninya, demi konversi rupiah atas tulisannya yang mampu membodohi-bodohi orang.
Mereka lah orang-orang pro korporasi dan pejabat berwenang yang dililit oleh kalkulasi-kalkulasi laba pabrik semen. Orang-orang yang termakan manisnya janji industrilisasi meski dengan cara melecehkan kehidupan dan inkonstitusional. Buzzer kontra aksi Kendeng Lestari yang terbelenggu nalar dan nuraninya, demi konversi rupiah atas tulisannya yang mampu membodohi-bodohi orang.
Konflik agraria tentang pembangunan pabrik semen
bukan hal yang baru. Perlawanan petani dalam menolak
pabrik semen bukan baru terjadi dalam setahun dua tahun belakangan. Tapi telah satu
dekade. Sebuah perjuangan berantai yang panjang, mulai dari awal 2006 di
Sukolilo, Pati, penolakan pabrik semen oleh dilakukan Jaringan Masyaratkat
Peduli Pegudungan Kendeng (JMPPK) dan Sedulur Sikep. Kemudian di Kayen,
Tambakromo, hingga ke Rembang. Dari perusahaan semen swasta maupun milik
pemerintah. Alasan penolakannya pun sama, cacat AMDAL, tumpang tindih terhadap
konstitusi kawasan perlindungan daerah Karst, dan ketidaktransparan rencana
pembangunan. Bahkan terakhir, aksi Dipasung Semen 2 dipicu oleh izin baru
yang terbitkan Ganjar Pranowo pada 23 Februari lalu , izin tersebut mencederai Putusan
Mahkamah Agung melalui Putusan No. 99 PK/TUN/2016 yang telah membatalkan Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 juni 2012 serta
Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang nomor 064/G/2014/PTUN SMG.
Penolakan di Rembang pun dimulai dengan aksi
mendirikan tenda di depan lokasi pembangunan pabrik, jalan kaki
ratusan kilometer menuju kantor guberneran Jawa Tengah, Dipasung Semen Jilid 1
hingga Jilid 2. Konsistensi, masifitivitas, dan panjangnya perjuangan
petani-petani Pegunungan Kendeng pada satu dekade terakhir akan mengingatkan
kita pada kasus Kedung Ombo. Proyek pembangunan waduk yang harus menggusur di 3 keresidenan dan 9 kabupaten di Jawa Tengah tersebut dimulai
pada tahun 1981. Warga menolak uang penggantian pergusuran yang sangat
murah. Dengan dikawal berbagai macam LSM, solidaritas masyarakat, media, kelompok-kelompok
mahasiswa bahkan dari luar Jawa Tengah, kasus Kedung Ombo berhasil menjadi
perhatian publik. Dengan bantuan LBH
Semarang, pada tahun 2002 akhirnya masalah ganti rugi tanah di Kedung
Ombo terselesaikan dengan dikeluarkannya SK Menhut No. 174/Menhut/VII tahun
2002.
Maka mereka yang kontra terhadap aksi petani-petani Kendeng, meragukan sikap kritis petani, menuduh adanya provokator di balik aksi, mengindikasi adanya eksploitasi petani perempuan, bahkan menuding bahwa petani-petani dan koalisi solidaritasnya dimobilisir oleh pihak-pihak yang berkepentingan, adalah orang-orang mendahulukan berbicara ketimbang berpikir. Saya bahkan mencurigai mereka bukan hanya
cacat nalar maupun buta sejarah, tapi juga orang-orang yang dengan sengaja
memelihara amnesia akut.
Betapa pun terpasungnya petani-petani Kendeng
karena kaki yang dicor, mereka lah orang-orang yang merdeka dengan akalnya. Dan memilih untuk menolak terpasung oleh janji-janji industrilisasi yang kelak justru akan
berbalik memasung kemerdekaan sebagai manusia yang (semestinya) sebagai subyek.
Petani-petani Kendeng dan Khittah Manusia
Khittah manusia sebagai subyek sudah lama menjadi buah pemikiran
revolusioner dari seorang tokoh pendidikan yang kontroversial, Paulo Freire. Dalam
mahakarya-nya yang fenomenal berjudul “Pendidikan yang Membebaskan”, ia menulis:
“Manusia sempurna adalah manusia sebagai subyek. Sebaliknya, manusiayang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai obyek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas.”
Freire mengkritisi tentang konsep beradaptasi, bahkan lebih
frontal ia menulis bahwa adaptasi dengan lingkungan adalah sikap binatang,
bukan sikap manusia. Petani-petani Kendeng yang mempertahankan khittah-nya sebagai
petani, dan menolak menjadi buruh pabrik semen adalah cara mereka mengukuhkan
dirinya sebagai subyek. Mereka hanya melakukan upaya untuk terus menjadi manusia:
humanisasi. Ketika mereka pasrah tanpa perlawanan dan justru berubah mengikuti
kekuatan-kekuatan sosial yang penuh kuasa, maka sikap tersebut justru adalah
pemerosotan sebagai obyek: dehumanisasi.
Sehingga jelas bahwa pengebirian terhadap peran dan partisipasi aktif petani, kecurigaan terhadap
sikap kritis petani dan malah berbalik menggugatnya, adalah sikap
manusia-manusia yang terlalu modern hingga tak menyadari kemerosotan khittah
kemanusiannya sendiri. Mereka lah manusia obyek. Bahkan mereka bagaikan orang lumpuh jika meminjam apa yang dikatakan Erich Fromm dalam Escape
from Freedom (buku yang juga menjadi rujukan Freire):
"(Manusia) menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berpikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak dengan bebas jika ia tahu tentang apa yang diinginkan, dipikirkan, dan dirasakan. Tapi masalahnya ialah bahwa ia tidak tahu. Dan karena itu ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa-penguasa yang tidak kenal dan ia akan mengiyakan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikan, semakian ia tidak berdaya untuk merasa semakin ia ditekan untuk menurut. manusia modern, meskipun dipulas dengan optimisme dan inisiatif, dikuasai oleh perasaan amat tidak berdaya bagaikan orang lumpuh yang hanya mampu menatap malapetaka sebagai tak terhindarkan."
Babak Baru Perlawanan
Dua perwakilan petani telah menemui presiden di
Istana Negara pada 22 Maret lalu. Mereka menerima jawaban nan begitu
birokratif, bahwa Jokowi tidak mencampuri urusan izin baru yang diterbitkan
Ganjar Pranowo. Tanggapan itu bukan hanya melecehkan kehidupan dan perjuangan
menahun para petani, tetapi sekaligus membunuh Marhaenisme.. Tanggapan
itu bukan hanya melecehkan kehidupan dan perjuangan menahun para petani, tetapi sekaligus
membunuh Marhaenisme.
Malam Penghormatan untuk Yu Patmi, di Kantor LBH Jakarta |
Seperti yang disampaikan oleh salah seorang
relawan Solidaritas untuk Kendeng Lestari ketika saya menghadiri acara doa
bersama untuk (Alm.) Yu Patmi pada 22 Maret 2017 lalu, bahwa aksi untuk melawan
pembangunan pabrik semen akan terus berlanjut, dengan strategi yang berbeda
sampai tuntutan petani dipenuhi. Solidaritas dan konsistensi dari perjuangan petani-petani
Kendeng bahkan diharapkan bisa menjadi resonan bagi perlawanan untuk konflik agraria di
berbagai wilayah lainnya.
Aksi akan terus menyebar. Petani, aktivis dan relawan aksi akan terus memberikan kesadaran kepada
orang-orang yang masih terpasung nalarnya. Aksi petani-petani Kendeng adalah
aksi yang memberi warna baru dalam cara melawan. Bahwa melawan tidak melulu dengan
konfrotasi, bahwa melawan bisa dilakukan juga dengan sehormat-hormatnya. Sebagaimana petani-petani Kendeng melakukan pencerahan dari
mata air ke mata air kepada petani-petani lain. Sebagaimana petani-petani
memanggil peneliti, aktivis lingkungan, untuk belajar mendata mata air dan
memahami ekologi kawasan perlindungan Karst. Sebagaimana petani-petani Kendeng ‘memanggil’
ahli hukum dan mempelajari cara melawan tanpa membentur konstitusi.
Sebagaimana petani-petani ‘merangkul’ ahli-ahli semen dan pihak-pihak lain yang mulanya
kontra terhadap mereka hingga merangkulnya menjadi bagian dari barisan perjuangan mereka. Dan benar saja, pada 24 Maret 2017, Aksi
Solidaritas Kendeng telah memasuki babak baru, menyebar ke beberapa kota
seperti Jogja, Bandung, Jambi, Medan, Cilegon, dll.
Represi negara yang telah banyak “memotong” kewarasan rakyatnya menggunakan
berbagai macam tameng sebenarnya membuktikan bahwa ketakukan negara adalah
ketika kita –rakyatnya- menjadi waras. Membuka diri sebebas-bebasnya untuk 'membaca' dan memahami situasi sosial seperti yang dialami petani-petani Kendeng,
adalah langkah awal untuk mengecup kewarasan. Selama masih memakan nasi, saya
pikir menyikapi apa yang dialami petani-petani Kendeng (atau lebih luas lagi: terhadap seluruh konflik agraria) hanya dengan diam dan seolah
persoalan tersebut terpisah dari kehidupan kita hingga begitu remeh untuk membuat
sulit tidur, adalah kesengajaan untuk memasung kewarasan.