Pada kondisi yang tidak menguntungkan, bakteri memproduksi endospora sebagai
pertahanan. Masa aktifnya spora adalah masa tidur bakteri pada kondisi
lingkungan yang ekstrim, seperti suhu, tekanan, dan faktor lainnya. Ketika
kondisi lingkungan kembali menguntungkan, maka bakteri tumbuh normal kembali.
Proses pembentukan endospora (sporalisasi) membutuhkan waktu selama 15 jam,
mulai dari pembetukan filamen aksial, septum asimetris, perkembangan protoplas,
pertumbuhan korteks, pembungkus sampai pematangan spora yang mempunyai
karakteristik resistansi dan dormansi.
Kalau makhluk sesederhana bakteri pun dibekali kemampuan bertahan dari dalam dirinya sendiri, saya pun selalu percaya bahwa manusia juga punya jiwa kedua yang mirip peran spora. Manusia, selalu punya intuisi untuk mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Kemampuan bertahan manusia, sederhananya dijelaskan dalam teori dasar mengenai ciri-ciri makhluk hidup yang kita kenyang mendengarnya di masa SD, yaitu beradaptasi dengan lingkungan. Teori evolusi memaksa kita menelan kenyataan bahwa yang paling tahan pada perubahan lingkungan dan yang dibekali fungsi morfologi paling canggih adalah pemenang zaman. Namun sisi ilmiah itu hanyalah batasan-batasan fisik
Kalau makhluk sesederhana bakteri pun dibekali kemampuan bertahan dari dalam dirinya sendiri, saya pun selalu percaya bahwa manusia juga punya jiwa kedua yang mirip peran spora. Manusia, selalu punya intuisi untuk mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. Kemampuan bertahan manusia, sederhananya dijelaskan dalam teori dasar mengenai ciri-ciri makhluk hidup yang kita kenyang mendengarnya di masa SD, yaitu beradaptasi dengan lingkungan. Teori evolusi memaksa kita menelan kenyataan bahwa yang paling tahan pada perubahan lingkungan dan yang dibekali fungsi morfologi paling canggih adalah pemenang zaman. Namun sisi ilmiah itu hanyalah batasan-batasan fisik
Spora manusia yang saya maksud dalam tulisan ini adalah hipotesa yang jauh
dari jangkauan materialisme. Sistem pertahanan tubuh manusia, terhadap faktor
fisika, kimia, biologi, telah khatam dijelaskan di bidang ilmiah. Di luar suhu,
tekanan, cahaya, dll, yang mengancam pertahanan tubuh manusia, faktor
lingkungan manusia jauh lebih kompleks dari batasan-batasan fisik
Kondisi sosial, ekonomi, dan banyak faktor lain yang memengaruhi kondisi
psikologi manusia. Sebelum jauh-jauh meminjam istilah psikologi yang cenderung
ilmiah, saya akan menggantinya (barangkali adalah penggantian yang tidak
setara) dengan istilah ghaib, bernama “jiwa”
Jiwa. Pertahanan jiwa manusia, tak terhindarkan adalah sebuah urgensi bagi
manusia untuk menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrim. Saya bukan mahasiswi
atau peneliti yang mempelajari khusus mengenai kerumitan psikologi manusia,
saya hanyalah awam yang berusaha memunculkan ide mengenai spora pada manusia,
yang mungkin saja ada. Jadi, jangan harapkan tulisan ini akan menjadi tulisan yang dalam. Istilah lain mengenai kemampuan bertahan manusia
mungkin sudah ada dalam teori-teori psikologi, yang saya tentu saja buta
tentang itu. Namun saya mencoba meminjam analogi spora pada bakteri dan
merepresentasikannya ada sungguhan pada manusia.
Bagaimana jiwa manusia bertahan dalam menghadapi kondisi ekstrim? Berbeda
dengan bakteri, yang kondisi ekstrimnya bisa saja diprediksi dengan
gejala-gejala berangsur, kondisi ekstrim yang mempengaruhi lingkungan jiwa
manusia, bisa saja di luar ekspektasi, di luar dugaan. Unpredictable. Kita
menyebutnya takdir? Cobaan? Ujian? Atau bentuk komunikasi lain antara Tuhan dan
manusia.
Bagaimana manusia menyiapkan diri atas sesuatu yang datangnya tiba-tiba?
Kalau bukan karena kita memiliki bekal alami dalam jiwa kita, mirip peran spora
pada bakteri. Sebelum kondisi ekstrim mematikan jiwa manusia –meski fisik terus
tumbuh & metabolisme tubuh masih setia melakukan siklusnya, tapi apa
artinya hidup dengan jiwa yang mati?
Jiwa yang sudah hilang harap, berhenti
tumbuh- maka spora manusia berperan pada masa transisi dari sebuah jiwa yang
kritis menuju jiwa baru, yang lebih dari sekedar sembuh normal. Kematangan
spora manusia memiliki karakter lebih dari sekedar kemampuan resistensi dalam
masa dormansi jiwa. Kematangan spora manusia tidak pasif menunggu kondisi
kembali normal. Tapi sebaliknya, spora manusia aktif membuat kondisi ekstrim
menjadi kembali kondusif bagi pertumbuhan sebuah jiwa yang kritis.
Jika ulat
memiliki satu kali fase perkembangan ekstrim dalam dirinya dan membuatnya
mengalami evolusi pertama sekaligus terakhir sebagai kupu-kupu, maka fase ekstrim
yang dialami jiwa manusia bisa datang berkali-kali. Dari banyak kesempatan ekstrim
itu, manusia memiliki kesempatan untuk berkali-kali memperindah jiwanya.
Sekali lagi, kesempatan berkali-kali. Setelah melewati segala gelombang, onak, badai kehidupan yang ekstrim.
Hanya saja, pembentukan spora manusia dari
fase awal hingga kematangannya, tidak seragam atas semua jiwa. Jika pada
bakteri pembentukan spora itu berlaku selama 15 jam, terhitung dari kejadian
kondisi ekstrim, maka pembentukan spora manusia bukannya seperti projek ghaib
pembangunan 1000 candi dalam semalam. Instan, adalah satu-satunya
berbendaharaan yang mustahil pada pertumbuhan jiwa manusia. Maka pembentukan
spora manusia sampai pada kematangannya adalah proses pemupukkan yang
berlangsung menahun, sejak kondisi normal atau kondisif atau kondisi yang
optimal bagi pertumbuhan jiwa.
Sederhananya kita memupuk jiwa kita sendiri,
menciptakan pertumbuhan yang paling optimal bagi spora –sesuatu yang ghaib-,
yang pada gilirannya spora yang –sudah diusahakan- matang tadi akan otomatis
aktif dan menguntungkan kita pada kondisi ekstrim. Lebih dari sekedar fungsi resistensi atas dormansi jiwa, tapi aktif
mentrasisi jiwa yang kritis menuju jiwa yang lebih dari sekedar sembuh. Menuju
metamorfosis jiwa, dari jiwa level ulat menuju jiwa level kupu-kupu. Yang
indah, mengepak-mengepak. Metamorfosis ini tentu bukan metamorfosis fisik yang
mudah terlihat. Proses pengayaan jiwa adalah ghaib yang luput dari
pengamatan indera. Dan kadang-kadang keluputan tsb membuat kita lengah dalam
menghargai dan mensyukuri tiap-tiap prosesnya.
Komponen-komponen spora manusia yang paling kental adalah iman -atau
secara harfiah adalah rasa percaya-, optimisme, kemauan untuk bertahan, dan
sugesti-sugesti dari dalam diri sendiri.
Berbeda dengan spora pada bakteri yang pembentukannya bergantung dengan
faktor di dalam dirinya sendiri, maka spora manusia bisa dipengaruhi oleh
jiwa-jiwa lain di luar dirinya. Dukungan-dukungan atau pengaruh-pengaruh positif
yang diantarkan dari jiwa-jiwa lain menuju jiwa kita ibarat nutrisi bagi
sporalisasi.
Durasi dormansi jiwa, dan lamanya transisi dari jiwa yang kritis menuju
jiwa yang lebih dari sekedar sembuh, barangkali amat bergantung dengan
penerimaan kita. Sekali lagi, penerimaan kita.
Perlu satu halaman lagi untuk menjabarkan tentang penerimaan, tapi saya
sudah kepalang ingin menyelesaikan tulisan ini.
Kamu sudah percaya kalau kita ini sebenarnya juga punya spora? –kemampuan & bakat untuk lebih dari sekedar bertahan.
Depok, 16-17 April 2015
-diazsetia yang tepat sebulan telah vakum nulis
(baca juga artikel saya tentang pensil dan ide: Ide dan Kreativitas dalam Lintasan Zaman)
(baca juga artikel saya tentang pensil dan ide: Ide dan Kreativitas dalam Lintasan Zaman)