(Note: sudah baca tulisan sebelumnya terkait ini? Langit Bekas Hujan: Sebuah Epilog)
Aku tentu tidak berharap bisa lebih berbahagia setelah kita memutuskan untuk saling memisahkan diri. Jelas itu harapan yang utopis. Tunggu dulu, kita? Rasanya tidak pernah ada kita. Hanya ada aku. Dan barangkali ilusi dari keutuhan jiwamu. Jiwamu tidak pernah benar-benar ada bersamaku. Hanya raga kopong yang belum menemukan pemenuhannya. Bukan sekali aku berkhayal, berdoa, bahkan berusaha memaksa untuk menjadi pemenuhan bagi jiwamu. Bukan sekali aku meneliti kekosonganmu, menjelma psikolog ulung yang seakan paham akan teka-teki perasaan seseorang. Menebak. Menganalisa seadanya. Kemudian mengabdikan diri sebagai obat atas segala rasa sakitmu, obat yang selalu bisa kau telan, kau dapatkan kapan saja. Obat mujarab, yang seketika membuat hidupmu lebih baik. Anything. Everytime. Percayakah? Aku bisa menjadi sepenurut itu, dan semanis itu, kalau kau mau. Sayangnya, tak pernah terjadi pengabdian tanpa izin tuannya. Dan, ya, kau, Tuan, tidak pernah mengizinkan itu. Pernah terbesit sebuah pemikiran gila, tak masalah juga jadi racun bagimu, Tuan. Racun yang melemahkanmu. Membuat hidupmu kian buruk. Mematikanmu. Setidaknya itu lebih baik, aku akan jadi si racun yang selalu kau ingat seumur kau punya nafas. Ketimbang bukan menjadi sesiapa, yang hidup hanya untuk menjual waktunya dengan amat murah demi menawarkan sebuah pengabdian, yang sayang sekali justru kau empas dan sia-siakan. Kau pernah berlari mengejar bis terakhir untuk pulang dan tak berhasil? Seperti itulah lelahnya aku. Jangan pernah tanya tentang rasa kecewa, karna betapapun kecewanya aku, harapan itu tumbuh laksana gulma. Semakin aku pangkas, semakin bermunculan ganas. Cara terbaik bukan memangkasnya, tapi membiarkannya tumbuh saja, apa adanya. Tumbuh dengan jujur, mekar, dan layu sendiri. Dan secara simultan, aku perlu pergi meninggalkan padang yang terlampau luas itu. Padang dengan kau di dalamnya. Meninggalkanmu dengan keadaan kau berbahagia tentu akan jauh lebih mudah. Ketimbang pergi dengan asumsi masih ada yang salah dengan hidupmu, mustahil kau bahagia. Kau dan kekosonganmu yang belum tergenapi. Aku yang ingin menyembuhkanmu, menggenapimu, mengutuhkanmu. Sekaligus aku yang tidak diberi kesempatan. Hidup ini memang penuh paradoks.
Baiklah, selepas hujan kemarin, aku memang yang memutuskan pergi. Sebelumnya, aku pikir kau telah pulang, tapi sungguh, kau tak berpindah kemanapun. Kau tidak pernah datang, hingga kau tak mungkin pulang. Akulah yang mendatangimu, dan aku yang sepantasnya pergi. Aku hanya pergi, bukan pulang. Karna pulang bagiku adalah bersamamu. Aku sudah pulang saat kita bersisian, saling membuka diri, cair dalam tawa. Matamu, dan kedalamannya, adalah rumah bagiku. Tapi aku harus pergi. Ingat, filosofi tentang awan dan langit? Awan dan langit yang berdiri pada caranya masing-masing, jauh lebih mengagumkan ketimbang memaksakan bersatu, kemudian menjadi mendung. Memaksamu menerima pengabdianku, seperti memaksa awan tunduk pada tubuh langit, saling tergabung tanpa batas-batas yang jelas, dan badai hanya akan menjadi kian menderas. Rasanya pasti jauh lebih sakit dari perpisahan dini yang aku putuskan sekarang. Tentu saja, urusan ini seharusnya sudah berakhir kemarin, semenjak hujan selesai. Semenjak langit berbagi tempat dengan warna-warna jamak lainnya. Semenjak langit berhenti egois untuk mengaduk-ngaduk semua warna awan dalam dekapannya. Lihat! Langit bekas hujan memang sudah kembali megah. Tapi sungguh bukan penegasan atas pelepasanmu yang aku banggakan. Hanya saja semua euforia pelepasan ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pertunjukan yang megah dan mengagumkan.
Aku tentu tidak berharap bisa lebih berbahagia setelah kita memutuskan untuk saling memisahkan diri.
Jelas itu harapan yang utopis. Aku pun tidak berharap hidup akan lebih baik setelah ini, rasanya masih terlalu ilusif. Aku cukup berharap hidup akan terasa sama setelah pelepasan ini. Terima kasih atas semua kesempatan bagiku untuk menelan rasa lelah atas pengacuhanmu. Mungkin aku pun telah memberi kelelahan yang sama besar padamu. Kelelahan mencari cara meyakiniku bahwa tak semua gerilya bisa memaksakan rasa nyaman. Rasa nyaman itu tentu naluriah sekali. Sealami tumbuhnya gulma harapan, dan ingat, aku masih membiarkan gulma itu tumbuh hingga kelak layu dengan sendirinya. Bukan kesalahan jika mendamba hidup dapat berjalan seteduh langit bekas hujan. Tapi jangan lupakan bahwa hati kita tak pernah seluas langit. Dan inilah kalimat yang akan jadi sangat menyakitkan: selamat berproses menjadi indah dengan caramu sendiri... Semoga lekas menemukan keutuhan yang (tentu saja) bukan dariku...
(NB: Bukan curhatan gw :p)
Aku tentu tidak berharap bisa lebih berbahagia setelah kita memutuskan untuk saling memisahkan diri. Jelas itu harapan yang utopis. Tunggu dulu, kita? Rasanya tidak pernah ada kita. Hanya ada aku. Dan barangkali ilusi dari keutuhan jiwamu. Jiwamu tidak pernah benar-benar ada bersamaku. Hanya raga kopong yang belum menemukan pemenuhannya. Bukan sekali aku berkhayal, berdoa, bahkan berusaha memaksa untuk menjadi pemenuhan bagi jiwamu. Bukan sekali aku meneliti kekosonganmu, menjelma psikolog ulung yang seakan paham akan teka-teki perasaan seseorang. Menebak. Menganalisa seadanya. Kemudian mengabdikan diri sebagai obat atas segala rasa sakitmu, obat yang selalu bisa kau telan, kau dapatkan kapan saja. Obat mujarab, yang seketika membuat hidupmu lebih baik. Anything. Everytime. Percayakah? Aku bisa menjadi sepenurut itu, dan semanis itu, kalau kau mau. Sayangnya, tak pernah terjadi pengabdian tanpa izin tuannya. Dan, ya, kau, Tuan, tidak pernah mengizinkan itu. Pernah terbesit sebuah pemikiran gila, tak masalah juga jadi racun bagimu, Tuan. Racun yang melemahkanmu. Membuat hidupmu kian buruk. Mematikanmu. Setidaknya itu lebih baik, aku akan jadi si racun yang selalu kau ingat seumur kau punya nafas. Ketimbang bukan menjadi sesiapa, yang hidup hanya untuk menjual waktunya dengan amat murah demi menawarkan sebuah pengabdian, yang sayang sekali justru kau empas dan sia-siakan. Kau pernah berlari mengejar bis terakhir untuk pulang dan tak berhasil? Seperti itulah lelahnya aku. Jangan pernah tanya tentang rasa kecewa, karna betapapun kecewanya aku, harapan itu tumbuh laksana gulma. Semakin aku pangkas, semakin bermunculan ganas. Cara terbaik bukan memangkasnya, tapi membiarkannya tumbuh saja, apa adanya. Tumbuh dengan jujur, mekar, dan layu sendiri. Dan secara simultan, aku perlu pergi meninggalkan padang yang terlampau luas itu. Padang dengan kau di dalamnya. Meninggalkanmu dengan keadaan kau berbahagia tentu akan jauh lebih mudah. Ketimbang pergi dengan asumsi masih ada yang salah dengan hidupmu, mustahil kau bahagia. Kau dan kekosonganmu yang belum tergenapi. Aku yang ingin menyembuhkanmu, menggenapimu, mengutuhkanmu. Sekaligus aku yang tidak diberi kesempatan. Hidup ini memang penuh paradoks.
Baiklah, selepas hujan kemarin, aku memang yang memutuskan pergi. Sebelumnya, aku pikir kau telah pulang, tapi sungguh, kau tak berpindah kemanapun. Kau tidak pernah datang, hingga kau tak mungkin pulang. Akulah yang mendatangimu, dan aku yang sepantasnya pergi. Aku hanya pergi, bukan pulang. Karna pulang bagiku adalah bersamamu. Aku sudah pulang saat kita bersisian, saling membuka diri, cair dalam tawa. Matamu, dan kedalamannya, adalah rumah bagiku. Tapi aku harus pergi. Ingat, filosofi tentang awan dan langit? Awan dan langit yang berdiri pada caranya masing-masing, jauh lebih mengagumkan ketimbang memaksakan bersatu, kemudian menjadi mendung. Memaksamu menerima pengabdianku, seperti memaksa awan tunduk pada tubuh langit, saling tergabung tanpa batas-batas yang jelas, dan badai hanya akan menjadi kian menderas. Rasanya pasti jauh lebih sakit dari perpisahan dini yang aku putuskan sekarang. Tentu saja, urusan ini seharusnya sudah berakhir kemarin, semenjak hujan selesai. Semenjak langit berbagi tempat dengan warna-warna jamak lainnya. Semenjak langit berhenti egois untuk mengaduk-ngaduk semua warna awan dalam dekapannya. Lihat! Langit bekas hujan memang sudah kembali megah. Tapi sungguh bukan penegasan atas pelepasanmu yang aku banggakan. Hanya saja semua euforia pelepasan ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pertunjukan yang megah dan mengagumkan.
Aku telah gagal membuat pelepasan semegah pertunjukan langit bekas hujan. Aku sadar, hatiku tak seluas langit yang hanya butuh beberapa kejap untuk melepaskan apa yang telah sekian lama ia dekap (paksa). Hatiku tak seluas langit, yang dengan mudahnya lagi berbagi tempat dengan warna-warna jamak, yang mudahnya percaya lagi dan memberikan kesempatan pada warna-warna kehidupan lain yang mungkin saja membuatku lebih bahagia.
Aku tentu tidak berharap bisa lebih berbahagia setelah kita memutuskan untuk saling memisahkan diri.
Jelas itu harapan yang utopis. Aku pun tidak berharap hidup akan lebih baik setelah ini, rasanya masih terlalu ilusif. Aku cukup berharap hidup akan terasa sama setelah pelepasan ini. Terima kasih atas semua kesempatan bagiku untuk menelan rasa lelah atas pengacuhanmu. Mungkin aku pun telah memberi kelelahan yang sama besar padamu. Kelelahan mencari cara meyakiniku bahwa tak semua gerilya bisa memaksakan rasa nyaman. Rasa nyaman itu tentu naluriah sekali. Sealami tumbuhnya gulma harapan, dan ingat, aku masih membiarkan gulma itu tumbuh hingga kelak layu dengan sendirinya. Bukan kesalahan jika mendamba hidup dapat berjalan seteduh langit bekas hujan. Tapi jangan lupakan bahwa hati kita tak pernah seluas langit. Dan inilah kalimat yang akan jadi sangat menyakitkan: selamat berproses menjadi indah dengan caramu sendiri... Semoga lekas menemukan keutuhan yang (tentu saja) bukan dariku...
(NB: Bukan curhatan gw :p)