Ulasan
Berkecipak Dalam Banalitas: Sebuah Tela'ah (Hampir) Kritis Terhadap Tulisan-Tulisan TSA
Mei 12, 2018
Jauh sebelum TSA terjun ke dunia politik dan menjadi salah satu petinggi di partai milenial itu, sesungguhnya saya sudah jadi haters blio. Tapi kita mesti sepakat dulu tentang definisi haters (yang saya pakai) dalam tulisan ini: haters adalah fans yang mencintai dengan cara berbeda.. misalkan?
Misalnya ada orang-orang yang mencintai negeri ini dengan cara selalu mendukung dan berpikir positif terhadap kebijakan penguasa dan bahkan memiliki kecenderungan untuk mencurigai rakyat. Sebaliknya, ada orang-orang yang mencintai negeri ini dengan cara selalu mencurigai dan mengkritisi perangkat negara.
Keduanya tetap punya kesamaan: sama-sama mencintai, hanya dengan cara dan jalan yang berbeda. Dan itu pilihan atas tingkatan kesadaran masing-masing. (Seyogyanya memang hanya ada dua pilihan: mencurigai rakyat atau mencurigai negara).
Misalnya ada orang-orang yang mencintai negeri ini dengan cara selalu mendukung dan berpikir positif terhadap kebijakan penguasa dan bahkan memiliki kecenderungan untuk mencurigai rakyat. Sebaliknya, ada orang-orang yang mencintai negeri ini dengan cara selalu mencurigai dan mengkritisi perangkat negara.
Keduanya tetap punya kesamaan: sama-sama mencintai, hanya dengan cara dan jalan yang berbeda. Dan itu pilihan atas tingkatan kesadaran masing-masing. (Seyogyanya memang hanya ada dua pilihan: mencurigai rakyat atau mencurigai negara).
Disclaimer & Kegerahan Atas Konsistensi Kebanalan TSA
Sebelum lebih jauh lagi, saya juga harus jelaskan mengenai posisi saya di politik. Saya seorang yang tidak percaya dengan partai politik apapun, dan agak percaya terhadap Partai Jomblo Revolusioner, alias partai(-partaian) yang sudah vakum bahkan belum lama dari kemunculannya. Jadi, telaah kritis ini murni subyektivitas dan keisengan belaka dari seorang pembaca, bukan soal kepentingan politis saya, yha...
Dari awal kemunculannya, yaitu tulisan –kalau tidak bisa disebut sebagai ‘curhatan’- viral tentang kekecewaannya terhadap inkonsistensi prinsip seorang mantan Kemendikbud, saya udah feeling sih “ini orang pasti nanti ‘dimanfaatin’ ke arah politik praktis”. Tulisan yang gak bagus-bagus amat itu dalam sekejap menjadi viral karena tendensius menunjuk kesalahan tokoh yang posisinya saat itu juga sedang berada di tengah arena panggung pertunjukkan politik.. sungguh sebuah tulisan yang rentan dimanfaatkan.
Lalu, kenapa sejak sedini mungkin saya langsung jadi haters-nya?
Pertama, karena blio ini kan –dari awal kemunculannya- dikenal sebagai perempuan kritis yang berani berpendapat lewat tulisan. Kedua, karena saya juga (kebetulan) seorang perempuan, jadi kalau ada perempuan yang ‘berani’, langsung pengen kepo dan kalau bisa mengikuti jejak keberanianya.
Jadi, setelah kepo beberapa tulisan-tulisannya di media daring, dan tentang buku perdananya itu (cuma baca liat foto bukunya aja, serius gak niat baca apalagi beli)… saya langsung bergumam, “oohh jadi gini tulisan-tulisan yang katanya berani dan kritis yang memikat banyak orang itu.. ooohhh..”
Berani mungkin iya, tapi saya pikir jauh dari kritis dan bahkan cenderung banal. Sekali lagi, itu kesimpulan sedini mungkin di tahun 2016 silam. Saat itu, betapa sedihnya saya menelan kenyaatan bahwa banyak orang yang menggemari dan mengapresiasi tulisan 'dangkal begitu'. Sungguh sebuah bentuk dari 'keditatoran mayoritas', yang juga tak bisa dilepaskan dari ‘peran’ media yang terus menerus menyajikan dan mengangkat tulisan-tulisan receh. Karena bagi saya, keberanian saja tak pernah cukup. Sekadar berani namun disaat yang sama justru mempertontonkan kebanalan kita adalah keliru. Maka itu saya langsung berpihak sebagai haters, dan tak jadi mengikuti jejak ‘keberaniannya’.
Pertama, karena blio ini kan –dari awal kemunculannya- dikenal sebagai perempuan kritis yang berani berpendapat lewat tulisan. Kedua, karena saya juga (kebetulan) seorang perempuan, jadi kalau ada perempuan yang ‘berani’, langsung pengen kepo dan kalau bisa mengikuti jejak keberanianya.
Jadi, setelah kepo beberapa tulisan-tulisannya di media daring, dan tentang buku perdananya itu (cuma baca liat foto bukunya aja, serius gak niat baca apalagi beli)… saya langsung bergumam, “oohh jadi gini tulisan-tulisan yang katanya berani dan kritis yang memikat banyak orang itu.. ooohhh..”
Berani mungkin iya, tapi saya pikir jauh dari kritis dan bahkan cenderung banal. Sekali lagi, itu kesimpulan sedini mungkin di tahun 2016 silam. Saat itu, betapa sedihnya saya menelan kenyaatan bahwa banyak orang yang menggemari dan mengapresiasi tulisan 'dangkal begitu'. Sungguh sebuah bentuk dari 'keditatoran mayoritas', yang juga tak bisa dilepaskan dari ‘peran’ media yang terus menerus menyajikan dan mengangkat tulisan-tulisan receh. Karena bagi saya, keberanian saja tak pernah cukup. Sekadar berani namun disaat yang sama justru mempertontonkan kebanalan kita adalah keliru. Maka itu saya langsung berpihak sebagai haters, dan tak jadi mengikuti jejak ‘keberaniannya’.
Nah, tadi pagi saya iseng buka lagi link salah satu tulisan terbaru TSA. Kenapa iseng baca lagi tulisan blio? Karena saya berekspektasi bahwa setelah blio terjun ke politik dan makin kaffah jadi figur publik, tulisan-tulisannya menjadi lebih baik. Minimal tidak dangkal. Tetapi ya seperti kita mahfum, the one and only dari resiko berharap adalah kecewa.
Membaca tulisan terbaru yang terbit di salah satu rubik opini media daring itu, saya pun kecewa. Lagi-lagi kesan saya sama dengan kesan saat membaca tulisan-tulisan awal di dua tahun lalu: sensasinya seperti berkecipak-kecipak saja dalam banalitas. Tulisan yang sebatas ‘membasahi kuku’ saya, bukan tulisan yang dalam dan menenggelamkan apalagi memacu untuk berpikir. Agaknya media sekelas geotimes.co.id yang pasang tagline “Actual, Critical, Inspiring” pun sudah melonggarkan proses kurasi tulisan demi seorang figur publik idola generasi milenial itu: bukan lagi melihat kualitas tulisan, tapi siapa yang menulis.
Membaca tulisan terbaru yang terbit di salah satu rubik opini media daring itu, saya pun kecewa. Lagi-lagi kesan saya sama dengan kesan saat membaca tulisan-tulisan awal di dua tahun lalu: sensasinya seperti berkecipak-kecipak saja dalam banalitas. Tulisan yang sebatas ‘membasahi kuku’ saya, bukan tulisan yang dalam dan menenggelamkan apalagi memacu untuk berpikir. Agaknya media sekelas geotimes.co.id yang pasang tagline “Actual, Critical, Inspiring” pun sudah melonggarkan proses kurasi tulisan demi seorang figur publik idola generasi milenial itu: bukan lagi melihat kualitas tulisan, tapi siapa yang menulis.
Sebuah Telaah (Hampir) Kritis
"Kita sudah melawan, Nak Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya" - Nyai Ontorosoh |
Mengingat masih aja ada orang-orang yang menggemari tulisan-tulisan yang dianggap berani dan kritis itu, dan dalam sebuah upaya untuk melawan bentuk 'ketidak-diktatoran mayoritas', maka saya pikir (keisengan) tela'ah (hampir) kritis terhadap tulisan-tulisan TSA ini menjadi (sedikit) penting. Telaah saya dilakukan alakadarnya dalam perspektif seorang pembaca, bukan dari perspektif kritikus profesyenel, yha.
Sebenarnya gak ada rumus paten untuk sebuah tulisan opini, yang pasti opini atau kolom adalah pendapat pribadi penulis tentang peristiwa hangat yang aktual dan faktual. Media daring tentu punya standar kurasi yang lebih luwes, sedangkan media cetak yang tinggal beberapa itu tentu punya standar kurasi yang lebih kaku (dari segi bahasa dan point of view penulis). Sedikitnya ada 3 kunci yang saya amini menentukan kualitas tulisan opini. Dan ketiga kunci itulah sekaligus menjadi pedoman saya dalam tela'ah (hampir) kritis ini.
Pertama, lead yang memikat. Lead atau pembuka tulisan akan jadi penentu apakah pembaca akan melanjutkan ke paragraf-paragraf selanjutnya, atau berhenti di situ karena tidak tertarik. Lead yang memikat bagi saya adalah lead ‘galak’, dan langsung menentukan ketegasan sikap di awal. Lead bisa berupa kutipan peristiwa yang disambung dengan pendapat penulis. Kalau leadnya gak tegas, bahkan gak jelas, tentu pembaca akan bertanya-tanya, ke mana arah tulisannya? Pembaca yang sabar mungkin akan memaklumi dan tetap melanjutkan membaca. Pembaca yang kurang sabar, dan tidak bersedia dibawa muter-muter dalam tempo tulisan sudah pasti akan meninggalkan tulisan tersebut sesegera mungkin.
Kedua, orisinilitas gagasan/ide dan keunikan angle (sudut pandang/perspektif). Ide lah yang semestinya yang menjadi nyawa bagi tulisan jenis opini. Sebab ini yang membedakan satu tulisan opini tentang suatu peristiwa yang sama dengan opini dari penulis lainnya adalah orisinilitas gagasan/ide yang dikemas melalui angle yang unik. Disinilah kesempatan penulis untuk membius pembaca agar terpengaruh atau minimal mempertimbangkan gagasan/idenya. Memperuncing sikap dan keberpihakan penulis. Ide/gagasan dalam tulisan opini dapat berupa alternatif cara memandang suatu persoalan maupun dapat berupa alternatif solusi.
Ketiga, keberhasilan mengolah data dan referensi untuk memperkuat opini. Data dapat berupa angka statistik yang bersumber dari sumber primer maupun sekunder. Data yang memperkuat opini bukanlah sekedar data yang ditampilkan, justru kemampuan membaca dan menganalisa data semestinya yang lebih ditonjolkan. Data yang ditampilkan tidak mesti banyak seperti seolah menyalin hasil penelitian. Opini bukan soal gagah-gagahan mengetahui data produk penelitian atau sensus, melainkan tentang kelihaian mengolah data menjadi ‘suara’ yang memengaruhi. Referensi pun dapat berupa teori dari pemikir-pemikir, sejarah, bahkan karya yang lebih dulu ada.
Saya membedah tulisan-tulisan TSA yang terbit di geotimes.co.id sebagai rubik “opini”. Mari kita mulai dengan tulisan Bisakah Kita Menghormati Perempuan Seperti Raja Priam? Sembilan paragraf awal tak membuat saya tertarik membaca dengan seksama, cuma skimming. TSA sedang menceritakan kembali sebuah mitologi Yunani tentang Raja Priam. Sebetulnya mengutip kisah, mitologi dan lainya juga bisa disebut ‘referensi’, yang tentu gunanya untuk menguatkan opini. Tetapi TSA gagal menghadirkan lead yang memikat dan tegas menentukan sikap. Membaca paragraf-paragraf awal, jika tidak ada tanda kategori “opini” di laman situs geotimes tsb, mungkin saya akan mengira tulisan tersebut hanyalah sekedar cerita ulang. TSA terlambat meletakkan idenya. Ia baru menyampaikan topik terhangat apa yang akan dia bahas di paragraph ke-10, setelah saya lelah terkatung-katung dalam ketidakjelasan dan ketidaktegasan (???), dan bertanya-tanya “mau dibawa kemana hubungan kita tulisan ini?”.
Pola tulisan yang hampir sama saya temukan tulisan TSA sebelumnya Rocky Gerung, Ahok, Dan Pesan Nestor. Ia menceritakan ulang tentang mitologi Yunani sebagai penguat gagasannya. Tapi kali ini lebih baik sih, karena lead-nya sudah mengutip berita, bukan langsung muter-muter cerita mitologi duluan. Sementara Belajar Dari Kisah Akhilles Dan Agamemnon dan Islam Bung Karno ini juga agaknya lebih cocok disebut sebagai “ulasan”.
Yang satu ulasan tentang mitologi Yunani, yang satu lagi ulasan tentang kisah tokoh. Kalau Sesat Pikir Fahri Hamzah adalah kental sekali dengan aroma curhat, apakah ini layak disebut kolom? Sedangkan tulisan dengan judul PSI Dan Kebangkitan Politik Anak Muda adalah gejala narsistik belaka. Kolom masa isinya menceritakain partainya sendiri? Kenapa gak ditulis di web resmi partainya aja? Atau bayar buzzer. Ibarat kata kamu ceritain hal-hal baik tentang dirimu sendiri di depancalon mertua teman-temanmu. Sungguh sebuah cara pencitraan yang kurang elehan.
Yang satu ulasan tentang mitologi Yunani, yang satu lagi ulasan tentang kisah tokoh. Kalau Sesat Pikir Fahri Hamzah adalah kental sekali dengan aroma curhat, apakah ini layak disebut kolom? Sedangkan tulisan dengan judul PSI Dan Kebangkitan Politik Anak Muda adalah gejala narsistik belaka. Kolom masa isinya menceritakain partainya sendiri? Kenapa gak ditulis di web resmi partainya aja? Atau bayar buzzer. Ibarat kata kamu ceritain hal-hal baik tentang dirimu sendiri di depan
Ketika menulis di media daring, pembatasan jumlah kata adalah menjadi hal yang ketat. Makanya kesempatan memaparkan dalam pembatasan tersebut seharusnya membuat penulis tidak memiliki pilihan lain selain menulis dengan efisien, tidak boros kata, tapi tak memotong makna.
Beda halnya dengan menulis di blog pribadi kaya saya ini, mau berbab-bab juga ya suka-suka sayahlah, hahaha. Nah, TSA itu bagi saya sih jauh dari kata efisiensi, boros kata, banyak pengulangan, tapi pengulangan-pengulangan itu sama sekali tak membuat kesan “menggigit”.
Diksi dari tulisan-tulisan TSA juga seadanya. Ide dan gagasan-gagasannya dangkal, perspektif atau angle yang belum masuk kategori unik. TSA juga gak punya ‘taste’ alias ciri khusus dan saya rasa dia kurang sekali menuangkan ‘nyawanya’ dalam tulisan-tulisannya itu. Juga miskin riset dan kurang bisa mengolah data jadi suara yang menggugah. Belum lagi keterhubungan antar alinea kurang dimainkan dengan halus.
Beda halnya dengan menulis di blog pribadi kaya saya ini, mau berbab-bab juga ya suka-suka sayahlah, hahaha. Nah, TSA itu bagi saya sih jauh dari kata efisiensi, boros kata, banyak pengulangan, tapi pengulangan-pengulangan itu sama sekali tak membuat kesan “menggigit”.
Diksi dari tulisan-tulisan TSA juga seadanya. Ide dan gagasan-gagasannya dangkal, perspektif atau angle yang belum masuk kategori unik. TSA juga gak punya ‘taste’ alias ciri khusus dan saya rasa dia kurang sekali menuangkan ‘nyawanya’ dalam tulisan-tulisannya itu. Juga miskin riset dan kurang bisa mengolah data jadi suara yang menggugah. Belum lagi keterhubungan antar alinea kurang dimainkan dengan halus.
Bagi saya, penutup tulisan adalah kesempatan untuk “menembakkan” peluru terakhir kepada pembaca. Penutup tulisan lah yang akan menentukan sejauh mana dan sepanjang apa sebuah tulisan akan ‘melukai’ pembaca. Penutup yang tanpa peluru bisa saja akan membuat pembaca segera kapok untuk membaca tulisan-tulisan si penulis. Nah, lagi-lagi TSA gagal dalam menggunakan kesampatan ‘menembak’ itu. Penutup tulisan-tulisannya bahkan tidak sampai ‘melukai’ saya. Saya juga punya definisi yang unik soal penulis. Bagi saya, penulis bukannya orang yang sekedar nulis atau bikin buku. Kamu baru jadi penulis ketika kata-kata dalam tulisan atau karya kamu diingat dalam waktu yang cukup lama oleh orang-orang.
Suatu kali pernah saya diskusi sama Kak Meita –memperhalus istilah “ghibah”, hahha-. Kalau kata Kak Mei, TSA ini kemampuan menulisnya ya rata-rata standar mahasiswa. Kalau saya lebih kejam, kalau bagi saya itu kemampuan menulis rata-rata anak SMA. Yang bikin sedih sebetulnya bukan soal kemampuan menulisnya yang menyedihkan, tapi bagaimana TSA “diangkat” dan dicitrakan sebagai seorang perempuan yang kritis dalam bersuara.
Untuk menyamarkan batas antara hal yang seriyes dan bercanda, ini saya kasih bonus komen singkat saya terhadap beberapa tulisan TSA di qureta.com (semacam portal citizen journalism, jadi gak ada kurasi).
- Rindu, Pak Ahok : Kalau saya sih merindui dia… *sambil nenggak kopi.
- Menertawakan Framing Tempo Terhadap Ahok: Cintai otakmu, jangan terlalu fanatik terhadap tokoh.
- Khayalan tentang Komunis: Suatu paham bisa dilarang oleh negara, tapi sebuah ideologi itu bersarang di kepala. Siapa dan perangkat apa yang bisa mengontrol isi kepala manusia? *CMIIW
- Aksi BEM SI 12: Kalian Bela Apa? : Semoga tulisan ini tidak dibaca oleh para demonstran yang sering turun ke jalan. Tulisan ini lemah sekali, TSA sekedar berusaha mengkerdilkan demonstrasi dan menggangapnya sebagai cara kuno tanpa data dan referensi pendukung. Hey, bukankah kita punya cara masing-masing dalam melawan dan untuk mengupayakan perubahan?. Misalkan dengan demo untuk melipatgandakan suara, menulis untuk memengaruhi kepala orang, turun langsung untuk ‘menambal’ kerja pemerintah, atau pun dengan cara masuk ke parpol. Dan kita bebas memilih di mana peran kita dalam peradaban…
- Ujian Kebangsaan Kita : Kekhawatiran tentang perpecahan negara karena hal-hal yang disebut sebagai “intoleransi” adalah ide yang banal dan berlebihan. Kekhawatiran macam itu terlalu receh ketimbang banyak hal tentang negara ini yang seharusnya lebih bikin kita gusar, misalkan soal petani dan beras. Tapi terinspirasi dari judul tulisan TSA itu, saya kok jadi pengen nulis soal Ujian Kejombloan Kita, semacam terusan dari tulisan tentang jomblo moderat untuk pemula.
Peluang dan Pembacaan Soal Faedah
Saran saya untuk TSA hanya dua: belajar menulis lagi banyak latihan menulis di buku harian/blog pribadi. Belajar menulis bisa dengan cara otodidak, yaitu; rajin-rajin baca kolom-kolom yang tajam dan kritis dan tentu ‘membaca pola tulisannya’; SKSD dan minta bimbingan penulis; baca-baca buku tentang teknis jurnalistik. Atau kalau tak cukup punya waktu bisa ikut kelas jurnalistik singkat.
Ketika seorang perempuan aktivis politik punya kemampuan menulis yang di atas rata-rata, sebetulnya itu akan jadi kelebihan. Tulisan-tulisan yang sungguhan memikat, persuasif, bahkan provokatif tentu akan bisa dijadikan media untuk menarik simpatisan atau loyalis partai. Dan faedah lainnya, tulisan-tulisan dalam kategori berkualitas (beneran) yang ditulis oleh figur publik macam TSA- yang banyak penggemar dan followers-nya itu- tentu merupakan bagian dari pendidikan publik. Misalkan begini, ketika saya dalam kapasitas saya yang hanya sebagai 'indomie warrior', dan menulis sesuatu dalam misi ‘pendidikan publik’ tentu pesan saya akan lebih sulit diterima ketimbang yang bersuara adalah seorang TSA.
Percayalah, menulis dalam keadaan kere, followers sedikit, kurang terkenal, miskin pencitraan, dan tidak membawa nama lembaga atau organisasi besar manapun adalah tantangan tersendiri, hahahah. Orang-orang lebih gampang mengamini apa yang disampaikan oleh orang yang sudah punya citra di mata publik. Tetapi semestinya citra yang sudah bagus –tentu saja di mata penggemarnya- sepatutnya disempurnakan dengan isi yang juga bagus. Sehingga citra perempuan berani dan kritis akan naik tingkat dan bukan menjadi ‘pakaian’ belaka. (Meski semenjak blunder-nya tentang Putin, rating TSA jadi turun). Eh, tapi naif sekali saya, tujuan parpol kan ya untuk transaksi kekuasaan ya, bukan untuk pendidikan publik. Pfft.
Percayalah, menulis dalam keadaan kere, followers sedikit, kurang terkenal, miskin pencitraan, dan tidak membawa nama lembaga atau organisasi besar manapun adalah tantangan tersendiri, hahahah. Orang-orang lebih gampang mengamini apa yang disampaikan oleh orang yang sudah punya citra di mata publik. Tetapi semestinya citra yang sudah bagus –tentu saja di mata penggemarnya- sepatutnya disempurnakan dengan isi yang juga bagus. Sehingga citra perempuan berani dan kritis akan naik tingkat dan bukan menjadi ‘pakaian’ belaka. (Meski semenjak blunder-nya tentang Putin, rating TSA jadi turun). Eh, tapi naif sekali saya, tujuan parpol kan ya untuk transaksi kekuasaan ya, bukan untuk pendidikan publik. Pfft.
Tapi setidaknya definisi haters yang saya sampaikan di awal tulisan ini pun teruji. Sebagai sesama perempuan, saya mencintai TSA dengan cara yang berbeda. Kalau saja TSA mau membuka diri untuk belajar menulis lebih baik lagi – apalagi untuk orang yang sudah mengaku diri sebagai penulis buku politik-, saya melihat peluang dan membaca faedah-faedah yang akan balik lagi ke kualitas diri seorang TSA. Perempuan, muda, aktivis politik, figur publik, tenar, berani.. jika ditambah dengan kelihaian menuangkan ketajamannya lewat tulisan yang sungguhan kritis, maka intelektualitasnya akan menjelma sebagai kecantikan yang HQQ.. kecantikan yang bukan bergantung pada warna dan merk gincu.
***
Depok-Jakarta-Depok, 10-12 Mei 2018
Suara hati seorang haters yang HQQ