"Sudah ngopi?"
Barangkali menjadi pertanyaan yang lebih romantis untukmu,
ketimbang pertanyaan, "Sudah makan?"
Tak ada yang lebih kau gandrungi dari kepul tipis asap diatas cangkirmu.
dan meski guaranina ada pada guarana,
mateina dalam mate,
pun teina yang ditemukan pada teh
yang kamu ingin hanya kafeina di dalam kopi
Aku yang telah mahfum.
Sebagian dirimu terserap dalam emisivitas kopi,
sebagian lainnya menjadi bagian dariku,
hanya bagian kecil yang menjadi milikmu sendiri.
Namun aku tetap mencemburui kopi yang menjadi hangat pertamamu di gerbang fajar,
membuatmu bertahan di sepanjang hari yang bising oleh ambisi-ambisi,
Aku mencemburui kopi yang setia mengantarmu dari ujung malam, menuju dini hari yang begini sepi.
Sampai fajar datang lagi, dan sinaran membisikimu,
"Sudah siap untuk hari ini?"
Diluar pemaknaan sebagai jenis minuman, kamu terilhami oleh proses kelahiran kopi
Seperti pahit proses pendewasaan diri, katamu
atau mirip manisnya beragam ragu yang justru kita nikmati bersama
Kamu bukan Sufi yang membutuhkan kopi supaya bisa berdoa sepanjang malam
Kamu hanya revolusioner bagi jiwamu sendiri,
yang membutuhkan kopi sebagai katalis pembebas
Lalu, dimana tempatku?
Aku mau berbagi dengan endorfin akibat kafeinamu,
diriku, menjelma sebagian endorfin yang eksis juga dalam kepalamu
meski tak semasif kafeina dalam kopi
Suatu kali, aku usil membandingkan kopi dengan kita
Kau tentu tau bahwa aroma kopi selalu lebih baik dari rasanya.
Sementara kita?
Mana yang lebih esensial?
Aroma.. yang sampai di indera manusia-manusia lain
atau
... rasa yang paripurna bagi kita
berdua saja?
Depok, dini hari 23 Feb 2016
(diazsetia, dalam pengaruh kafeina)