Belum hujan, sejak kau mulai bungkam atas semua bahasa, membungkus suara dan aksara dalam jenak-jenak yang kelewat panjang. Kita pernah saling melukis takdir sebebas-bebasnya pada langit yang mulai mendung, mencoba perjudiaan diatas kanvas luas bernama perasaan. Kita mungkin terlalu berani saat saling melarungkan diri di sebuah notasi yang tak pernah baku, sebuah keterhubungan yang saru. Dimana batas menjadi amat menipu, dan kesimpulan hanyalah asumsi-asumsi mengenai segala ragu. Lalu, bisakah sore ini kau bicara? Memulai semuanya tanpa aku minta, tanpa mengiba tentang satu saja kalimat penegasan diantara semua ketidakjelasan yang kita ciptakan sendiri. Bisakah kau bicara? Sebelum hujan, sebelum awan benar-benar lebur dengan langit, sebelum semua kalimat pengaguman lebur dengan rasa sakit, sebelum guntur benar-benar berpesta memeriahkan perpisahan ini, atau mungkinkah penyambutan?
Kita telah sama-sama tau tentang cara menangkap, sekarang kita hanya tinggal memilih cara untuk saling merangkul atau.... saling melepaskan..."
Lalu, bisakah kita memilih sekarang? Setelah menahun aku tengadahkan tangan untuk hambur dalam rangkulanmu. Dan setelah beberapa malam lalu aku mulai tau mengenai seni dari melepaskan.
Sudah hujan, saat kau masih ingin diam. Sebenarnya, diam, adalah detik-detik yang paling sempurna untuk berteduh di matamu, dan membedah kedalamannya. Diam adalah toleransi bagiku untuk terbata-bata mencari nyala pembeda. Mengurai segala yang abu, terbata-bata menemukan satu warna yang utuh. Namun, diammu kali ini adalah kebekuan yang membakar segala pengampunan. Membuatku bukan hanya menjadi lelah, tapi juga kalah.
Kau bilang, "sudah hujan, aku mau pulang"
Kau mau pulang kemana lagi? Disini, telah kusediakan rumah yang luas bagimu. Tempat yang selalu ada untuk kau memulangkan diri, setelah muak menualangkan diri. Cukup bawa pulang segenap rindu yang kian usang itu, kesini: sesuatu yang mereka sebut hati.
Kau sudah pulang, saat guntur menyambar pucuk pohon perdu, sekaligus puas membelah-belah langit: kanvas luas yang hampir selesai kita lukis. Kau pulang saat langit benar -benar mencekat. Dan bisakah kau lihat? Diantara genangan-genangan di sepanjang jalan yang kau tinggalkan, ada pantulan wajah pucat, mirip raut anak kecil yang takut tersesat. Adalah wajah milikku: diantara kenangan-kenangan sepanjang pengaguman, yang kerap dicekat oleh rasa kehilangan. Hujan benar-benar kalap mengguyur kota kita. Membuat buyar satu rencana, tentang penciptaan sebuah kebun bunga sederhana: beranda bagi kita untuk menyiapkan diri terhadap perasaan saling menerima. Sudah waktunya untuk saling melepaskan, benarkah?
Epilog:
Dan langit bekas hujan, sudah selesai mengurai semua kelam, mengembalikan warna sinaran yang tidak tunggal. Aku selalu suka, ketika awan kembali dipisahkan lagi dari langit, menunjukkan lagi kedewasaan dirinya. Membentuk lukisan apa saja yang ia suka, memeriahkan langit, memberi nyawa padanya. Awan dan langit yang saling melebur membentuk mendung, menjadi sebuah korelasi nestapa. Walau banyak manusia menyenangi hujan, tapi adakah yang menyukai perang elektron? Petir-petir menjelma dewa satir, membuat banyak wajah khawatir. Awan dan langit ketika berdiri pada caranya masing-masing bisa menjadi pertunjukkan yang amat megah. Betapa banyak manusia yang mengagumi langit, dan mengagumi caranya membagi tempat dengan awan dan dengan warna-warna jamak. Bukan mengagumi langit dan awan sirus yang terpaksa bersatu, menjadi warna kelabu. Aku mengerti, kadang-kadang kita harus terpisah dengan jiwa yang lain bukan karena tidak ingin saling menggapai, tapi hubungan yang berdiri di ruang yang terlalu lebur, justru melahirkan kebau-abuan yang akhirnya membuat saling menyiksa . Hubungan yang tanpa penegasan, seperti langit yang tanpa penegasan garis-garis awan di horison senja: petanda mendung. Semoga kau sampai pada tempat yang kau tuju, entah pada hati yang mana lagi. Semoga lekas selesai dari safarmu yang pasti melelahkan. Aku tetap menyiapkan rumah yang sama: tempat kau memulangkan diri, setelah muak menualangkan diri. Kalau saja kau cukup berani untuk mengambil kuas dan melukis garis yang tegas: lalu pulang, ke tempat sebenar-benarnya kau harus pulang.
Kita telah sama-sama tau tentang cara menangkap, sekarang kita hanya tinggal memilih cara untuk saling merangkul atau.... saling melepaskan..."
Lalu, bisakah kita memilih sekarang? Setelah menahun aku tengadahkan tangan untuk hambur dalam rangkulanmu. Dan setelah beberapa malam lalu aku mulai tau mengenai seni dari melepaskan.
Sudah hujan, saat kau masih ingin diam. Sebenarnya, diam, adalah detik-detik yang paling sempurna untuk berteduh di matamu, dan membedah kedalamannya. Diam adalah toleransi bagiku untuk terbata-bata mencari nyala pembeda. Mengurai segala yang abu, terbata-bata menemukan satu warna yang utuh. Namun, diammu kali ini adalah kebekuan yang membakar segala pengampunan. Membuatku bukan hanya menjadi lelah, tapi juga kalah.
Kau bilang, "sudah hujan, aku mau pulang"
Kau mau pulang kemana lagi? Disini, telah kusediakan rumah yang luas bagimu. Tempat yang selalu ada untuk kau memulangkan diri, setelah muak menualangkan diri. Cukup bawa pulang segenap rindu yang kian usang itu, kesini: sesuatu yang mereka sebut hati.
Kau sudah pulang, saat guntur menyambar pucuk pohon perdu, sekaligus puas membelah-belah langit: kanvas luas yang hampir selesai kita lukis. Kau pulang saat langit benar -benar mencekat. Dan bisakah kau lihat? Diantara genangan-genangan di sepanjang jalan yang kau tinggalkan, ada pantulan wajah pucat, mirip raut anak kecil yang takut tersesat. Adalah wajah milikku: diantara kenangan-kenangan sepanjang pengaguman, yang kerap dicekat oleh rasa kehilangan. Hujan benar-benar kalap mengguyur kota kita. Membuat buyar satu rencana, tentang penciptaan sebuah kebun bunga sederhana: beranda bagi kita untuk menyiapkan diri terhadap perasaan saling menerima. Sudah waktunya untuk saling melepaskan, benarkah?
Epilog:
Dan langit bekas hujan, sudah selesai mengurai semua kelam, mengembalikan warna sinaran yang tidak tunggal. Aku selalu suka, ketika awan kembali dipisahkan lagi dari langit, menunjukkan lagi kedewasaan dirinya. Membentuk lukisan apa saja yang ia suka, memeriahkan langit, memberi nyawa padanya. Awan dan langit yang saling melebur membentuk mendung, menjadi sebuah korelasi nestapa. Walau banyak manusia menyenangi hujan, tapi adakah yang menyukai perang elektron? Petir-petir menjelma dewa satir, membuat banyak wajah khawatir. Awan dan langit ketika berdiri pada caranya masing-masing bisa menjadi pertunjukkan yang amat megah. Betapa banyak manusia yang mengagumi langit, dan mengagumi caranya membagi tempat dengan awan dan dengan warna-warna jamak. Bukan mengagumi langit dan awan sirus yang terpaksa bersatu, menjadi warna kelabu. Aku mengerti, kadang-kadang kita harus terpisah dengan jiwa yang lain bukan karena tidak ingin saling menggapai, tapi hubungan yang berdiri di ruang yang terlalu lebur, justru melahirkan kebau-abuan yang akhirnya membuat saling menyiksa . Hubungan yang tanpa penegasan, seperti langit yang tanpa penegasan garis-garis awan di horison senja: petanda mendung. Semoga kau sampai pada tempat yang kau tuju, entah pada hati yang mana lagi. Semoga lekas selesai dari safarmu yang pasti melelahkan. Aku tetap menyiapkan rumah yang sama: tempat kau memulangkan diri, setelah muak menualangkan diri. Kalau saja kau cukup berani untuk mengambil kuas dan melukis garis yang tegas: lalu pulang, ke tempat sebenar-benarnya kau harus pulang.