Bisa dibilang saya beruntung. Setelah (sok) serius dalam pekan UTS di minggu sebelumnya. Kesempatan tranning sertifikasi suatu keahlian di Bandung, selama seminggu, bisa saya manfaatkan sebagai 'liburan' terselubung. Kalau pun gagal sebagai 'liburan terselubung', rasanya menjadi kesempatan untuk menepi sejenak, mencari ilham, atau me time pun boleh juga.
Trainning dimulai hari Senin, di hotel tetangga, hanya beberapa meter dari Braga City Walk. Total peserta hanya delapan orang. Saya menjadi peserta paling feminin sekaligus peserta termuda. Karna peserta lainnya adalah laki-laki, dan sebagian besar bapak-bapak, hanya satu orang yang masih pemuda diantara mereka. Satu lagi yang membuat saya sedikit membuat saya terkejut adalah.. saya adalah peserta dengan asal terdekat. Depok adalah jarak terdekat ketimbang Riau, Makasar, dan Sinjai. Peserta lain ternyata berasal dari luar pulau. Kami cepat akrab. Kota priyangan mendadak jadi rasa melayu ketika saya berinteraksi dengan dengan mereka. Mas Wahyu, Pak Nyomba, Pak Dadan, Pak Ismail, Pak Aldes, Pak Ifran, dan Pak Askar, mereka punya selera humor yang bagus juga. Satu fakta lagi, ternyata kami menginap di hotel yang sama dan baru sadar ketika perkenalan di kelas hari pertama. Trainning setiapnya berlangsung dari jam delapan sampai lima sore.
Ba'da magrib, kami (kecuali Pak Aldes dan Pak Ismail) keluyuran menyusuri Braga,Cikapundung Barat, Martadinata. Saya belajar jadi AGB (Anak Gaul Bandung). Saya pikir, tidak buruk juga jalan-jalan malam dengan geng bapak-bapak. Maksud hati ingin modusin jejaka-jejaka Bandung, malah ketemunya sama bapak-bapak lagi, yasudahlah. Hahhhaha.
Braga adalah jalan kecil yang hidup, mulai dari kedai-kedai makanan, tempat ngopi, tempat nge-beer, galeri, tukang tato temporer di emperan jalan. Batu-batu sintetis berjajar dalam jarak yang konstan di sepanjang troatar jalan.
"Kalau di tempat saya (Makasar), bangku-bangku kayak gini diletakkan di jalan itu gak bakal bertahan lama.. " Kata Pak Nyomba sambil menunjuk bangku-bangku berjajar di trotoar jalan.
"Loh, kenapa, Pak? Diambil orang, Pak?" saya tertawa, Pak Nyomba mengiyakan.
Memasuki jalan Martadinata menuju alun-alun Bandung, banyak gedung-gedung tua yang dimodernkan. Saya tak mencatat detail gedung-gedung itu. Hanya ada sebuah bangunan yang membuat saya penasaran: Museum Konferensi Asia Afrika (KAA), yang berada di sisi yang bersebrangan dengan alun-alun. Sisa-sisa uforia KAA bulan lalu pun belum usai, ditandai dengan poster di jalan-jalan yang belum dicopot juga gambar-gambar wakil negara KAA yang masih ramai dijadikan backround narsisum .
Di sebrang alun-alun, kami duduk-duduk, ngobrol-ngobrol random. Soal perubahan Bandung paska Ridwan Kamil menjabat sebagai walikota, gaya hidup orang-orang Bandung, sampai dibanding-bandingkan dengan kebiasaan dan nilai-nilai dari asal daerah geng bapak-bapak.
"Kacau yaa di Bandung ini, anak SMP itu gak malu yaa.. Peluk-pelukan begitu di tempat ramai, gak ada malu lagi yaa.. Cewek-cewek berjilbab juga ngerokok santai sekali, kacau ini... " Kata Mas Wahyu dengan 'rasa melayu'nya.
"Kalau di Riau, gak ada yang bisa begitu.." ia menyambung lagi.
"Kenapa, Mas? Kalau di Riau pelukan-pelukan gini langsung dirajam ya? hahhaha" saya menimpali, disambut juga dengan tawa yang lain.
Saya coba jelaskan ke meraka kalau di pusat-pusat kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dll pemandangan-pemandangan mesra di keramain memang sudah dilumrahkan. Biasa. Saya juga sampaikan pendapat saya tentang wanita merokok disini tidaklah setabu di tempat asal mereka. Wanita merokok bukan berarti ia bukan wanita baik-baik. Merokok hanya soal kerugian kesehatan dan hobi saja.
Beberapa kali foto bareng di sebrang alun-alun, dengan latar belakang alun-alun maupun bank BRI. Lalu kami mengitari pasar Parahyangan, banyak toko-toko makanan yang tutup. Tak banyak memilih, di belakang pasar Parahyangan kami menemukan jajaran warung tenda. Makan malam disana. Rupanya Pak Nyomba harus membayar 68ribu untuk sepiring kecil kepiting, ahhah. Setelah kenyang, kami kembali ke Braga. Masih pukul sembilan malam, sepertinya geng bapak-bapak itu belum puas keluar malam. Mereka lanjut duduk-duduk di bangku trotoar Braga, sementara saya pamit istirahat. Karna mereka, Bandung jadi rasa melayu!
Braga, 18 Mei 2015
(mungkin foto menyusul)
Trainning dimulai hari Senin, di hotel tetangga, hanya beberapa meter dari Braga City Walk. Total peserta hanya delapan orang. Saya menjadi peserta paling feminin sekaligus peserta termuda. Karna peserta lainnya adalah laki-laki, dan sebagian besar bapak-bapak, hanya satu orang yang masih pemuda diantara mereka. Satu lagi yang membuat saya sedikit membuat saya terkejut adalah.. saya adalah peserta dengan asal terdekat. Depok adalah jarak terdekat ketimbang Riau, Makasar, dan Sinjai. Peserta lain ternyata berasal dari luar pulau. Kami cepat akrab. Kota priyangan mendadak jadi rasa melayu ketika saya berinteraksi dengan dengan mereka. Mas Wahyu, Pak Nyomba, Pak Dadan, Pak Ismail, Pak Aldes, Pak Ifran, dan Pak Askar, mereka punya selera humor yang bagus juga. Satu fakta lagi, ternyata kami menginap di hotel yang sama dan baru sadar ketika perkenalan di kelas hari pertama. Trainning setiapnya berlangsung dari jam delapan sampai lima sore.
Ba'da magrib, kami (kecuali Pak Aldes dan Pak Ismail) keluyuran menyusuri Braga,Cikapundung Barat, Martadinata. Saya belajar jadi AGB (Anak Gaul Bandung). Saya pikir, tidak buruk juga jalan-jalan malam dengan geng bapak-bapak. Maksud hati ingin modusin jejaka-jejaka Bandung, malah ketemunya sama bapak-bapak lagi, yasudahlah. Hahhhaha.
Braga adalah jalan kecil yang hidup, mulai dari kedai-kedai makanan, tempat ngopi, tempat nge-beer, galeri, tukang tato temporer di emperan jalan. Batu-batu sintetis berjajar dalam jarak yang konstan di sepanjang troatar jalan.
"Kalau di tempat saya (Makasar), bangku-bangku kayak gini diletakkan di jalan itu gak bakal bertahan lama.. " Kata Pak Nyomba sambil menunjuk bangku-bangku berjajar di trotoar jalan.
"Loh, kenapa, Pak? Diambil orang, Pak?" saya tertawa, Pak Nyomba mengiyakan.
Memasuki jalan Martadinata menuju alun-alun Bandung, banyak gedung-gedung tua yang dimodernkan. Saya tak mencatat detail gedung-gedung itu. Hanya ada sebuah bangunan yang membuat saya penasaran: Museum Konferensi Asia Afrika (KAA), yang berada di sisi yang bersebrangan dengan alun-alun. Sisa-sisa uforia KAA bulan lalu pun belum usai, ditandai dengan poster di jalan-jalan yang belum dicopot juga gambar-gambar wakil negara KAA yang masih ramai dijadikan backround narsisum .
Di sebrang alun-alun, kami duduk-duduk, ngobrol-ngobrol random. Soal perubahan Bandung paska Ridwan Kamil menjabat sebagai walikota, gaya hidup orang-orang Bandung, sampai dibanding-bandingkan dengan kebiasaan dan nilai-nilai dari asal daerah geng bapak-bapak.
"Kacau yaa di Bandung ini, anak SMP itu gak malu yaa.. Peluk-pelukan begitu di tempat ramai, gak ada malu lagi yaa.. Cewek-cewek berjilbab juga ngerokok santai sekali, kacau ini... " Kata Mas Wahyu dengan 'rasa melayu'nya.
"Kalau di Riau, gak ada yang bisa begitu.." ia menyambung lagi.
"Kenapa, Mas? Kalau di Riau pelukan-pelukan gini langsung dirajam ya? hahhaha" saya menimpali, disambut juga dengan tawa yang lain.
Saya coba jelaskan ke meraka kalau di pusat-pusat kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dll pemandangan-pemandangan mesra di keramain memang sudah dilumrahkan. Biasa. Saya juga sampaikan pendapat saya tentang wanita merokok disini tidaklah setabu di tempat asal mereka. Wanita merokok bukan berarti ia bukan wanita baik-baik. Merokok hanya soal kerugian kesehatan dan hobi saja.
Beberapa kali foto bareng di sebrang alun-alun, dengan latar belakang alun-alun maupun bank BRI. Lalu kami mengitari pasar Parahyangan, banyak toko-toko makanan yang tutup. Tak banyak memilih, di belakang pasar Parahyangan kami menemukan jajaran warung tenda. Makan malam disana. Rupanya Pak Nyomba harus membayar 68ribu untuk sepiring kecil kepiting, ahhah. Setelah kenyang, kami kembali ke Braga. Masih pukul sembilan malam, sepertinya geng bapak-bapak itu belum puas keluar malam. Mereka lanjut duduk-duduk di bangku trotoar Braga, sementara saya pamit istirahat. Karna mereka, Bandung jadi rasa melayu!
Braga, 18 Mei 2015
(mungkin foto menyusul)