(Tulisan sebelumnya: Evolusi Sistem Pendidikan #3)
Pilar IV: Kesalihan Sosial sebagai Parameter Berhasilnya Suatu Sistem Pendidikan
Pilar IV: Kesalihan Sosial sebagai Parameter Berhasilnya Suatu Sistem Pendidikan
Dapat bekerja di suatu perusahaan ternama dengan jabatan yang baik diukur sebagai keberhasilan lulusan suatu jenjang pendidikan. Selama ini masyarakat kita banyak terjebak pada paradigma tsb. Harapan bahkan nyaris bisa dikatakan sebagai tuntutan orang tua terhadap karir baik anak-anaknya. Definisi membahagiakan orang tua seakan dapat dipatenkan dengan pekerjaan di . Lalu menjadi budak bagi perusahaan-perusahaan besar, sampai melupakan idealism khas mahasiswa dulu: membangun dan membuat perubahan pada kehidupan negerinya.
Lulusan-lulusan baru setiap tahunannya berlomba-lomba
mengejar pekerjaan ditempat-tempat bonafit, dengan gaji dan fasilitas yang
menggiurkan. Tidak munafik, kita semua butuh uang. Tapi dengan menganggap
output lulusan yang bekerja di perusahaan-perusahaan ternama sebagai indikator keberhasilan sistem pendidikan
maka pendidikan menjadi kehilangan esensinya.
Mendengar pemaparan tentang pilar keempat ini, saya langsung
pesimis dan mengkritisi.
“Loh, ini kan lumrah. Udah terlanjur banyak orang tua yang
itung-itungan sama pendidikan anak-anaknya. BEP. Semua hitung BEP. Keluar uang
berapa, dan setelah lulus harus dapet berapa. Udah terlanjur kayak gitu.”
“Itulah, yaz. Pendidikan kita ya bisnis. Bener gak
pendidikan itu sebagai bisnis? Kalau pendidikan terus dianggap sebagai sebuah
sistem bisnis, ya lulusan-lulusannya cuma jadi budak harta, budak jabatan.
Kapitalis. Apa itu bisa dibilang berhasil? Sistem Pendidikan dikatakan berhasil
kalau outputnya berupa kesalihan sosial, yaz. Tanpa itu, berarti pendidikan
sia-sia”
Berbeda dengan kesalihan ritual yang erat kaitannya dengan hubungan makhluk dan Penciptanya, kesalihan sosial ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.
Saling terkait dengan latar belakang pendidikan yang dibahas
pada tulisan sebelumnya:
Masyarakat membentuk budaya -> Budaya melahirkan penddikan ->Pendidikan melahirkan budaya baru.
Semestinya, pendidikan melahirkan budaya baru untuk
perubahan masyarakat, dan kesalihan sosial adalah adalah produk budaya yang
mestinya lahir dari pendidikan.
Singkatnya:
Kita belajar – kita mengerti – kita menerapkan – kita berubah dan menularkan perubahan-perubahan baik pada lingkungan.
Kesalahan, ketimpangan, kekacauan, kerusakan, dsbg yang ada
pada masyarakat ketika belum datang pencerahan pendidikan, akan berganti
menemukan penyelesainnya. Ilmu-ilmu praktis, pemahaman-pemahaman baru,
paradigm-paradigma baru, pola pikir baru, teknologi-teknologi solutif menjadi
jalan keluar dari permasalahan-permasalahan sosial.Tanpa kesalihan sosial, esensi tujuan pendidikan tersebut
tidak mungkin tercapai. Justru sebaliknya, jika output pendidikan bukanlah kesalihan
sosial, maka budaya baru yang lahir adalah budaya yang memperburuk, bukan
memperbaiki.
Mari bandingkan 2 output pendidikan yang berbeda, yang pertama adalah kesalahan sosial, yang kedua adalah kesalihan sosial.
Pendidikan yang melahirkan kesalahan sosial:
Seorang dokter yang cerdas, lulusan terbaik. Ketika keluar
dari dunia kampus, ia membuat penelitian dengan penerapan ilmu-ilmu kedokterannya.
Ia menciptakan virus. Tersebarlah virus tersebut secara luas, menjadi penyakit
masal. Kemudian, ia datang ke masyarakat membawa obat antivirus untuk melawan
virus tsb. Sebagai satu-satunya orang memiliki antivirus tersebut, ia pun
menjadi andalan. Semua orang membeli antivirus tsb darinya, dan ia mendapat
banyak keuntungan dari hasil penjualan tsb. Dia yang menciptakan virus, dia
pula yang datang kembali ke masyarakat bak pahlawan dengan menawarkan
penyembuhan atas virus tsb. Semakin lama, masyarakat terus tergantung dengan
antivirus yang ia ciptakan, dan ia semakin banyak mengeruk untung. Tanpa sadar,
masyarakat merasa beruntung dengan kehadiran antivirus tsb, padahal sebenarnya
mereka merugi. Ada dalang dibalik penyebaran virus massal tsb, ada oknum yang
sengaja mengeruk keuntungan sepihak dengan mengorbankan banyak orang.
Kecerdasan yang tidak diimbangi dengan kesalihan sosial dapat disalahgunakan
untuk hal-hal yang justru merugikan banyak orang.
Pendidikan yang menjadi kesalihan sosial:
Dengan kapasitas yang sama, seorang dokter lainnya
menerapkan ilmu-ilmu kedokterannya untuk mengabdi ke masyarakat. Melakukan
penelitian untuk menciptakan obat-obat yang paling efektif menyembuhkan
sekaligus dengan teknologi yang paling murah untuk jenis penyakit yang selama
ini hanya bisa disembuhkan dengan obat-obatan dan teknologi mahal. Obat-obat
tersebut ia tawarkan untuk penyembuhan orang-orang di desa-desa tertinggal,
orang-orang dengan keterbatasan kemampuan finansial. Banyak masyarakat yang
merasa tertolong. Tanpa mengambil keuntungan pribadi, namun dokter ini telah menjadi bukti
kelahiran suatu budaya baru yang lebih baik akibat dari pandidikan yang
berhasil. Kesalihan sosialnya membawa perbaikan di masyarakat, menjadi
pemecahan bagi masalah-masalah kesehatan.
Dua analogi yang sangat bertolak belakang. Kesalihan sosial
sebagai ouput pendidikan sudah ada buktinya di negara ini, tapi jumlahnya masih
sangat sedikit. Sebaliknya, kita sudah lelah membaca berita-berita amoral dari
orang-orang yang semestinya menjadi panutan masyarakat. Dengan karir yang baik,
bekal akademik cemerlang, dlsb mengapa mereka melakukan hal-hal yang justru
merugikan banyak orang? Karena kesalihan sosial tidak dijadikan tujuan utama
pendidikan. Dan disinilah, pendidikan
menemui kegagalannya. Selamat tinggal bagi perbaikan-perbaikan, selamat datang
kebobrokan-kebobrokan baru. Kaum oportunis, lebih kejamnya menjadikan
keterbatasan pengetahuan orang-orang awam sebagai celah memperkaya diri, bukan
sebagai celah untuk mengabdikan kesalihan sosialnya.
Banyak orang mempercayai bahwa untuk mengubah sistem
pendidikan harus dimulai pada anak-anak. Padahal anak-anak adalah produk pola
pendidikan orang tuanya. Kalau pola pendidikannya salah, maka produknya pun
salah.
Jadi, membuat perubahan pada sistem pendidikan ya semestinya
dimulai dengan merubah mindset para orang tua, bukan anak-anak. Anak-anak
tergantung pada pola pendidikan orang tua. Orang tua adalah pendidik. Masa
depan negeri ini bukan ada di tangan anak-anak, tapi ditangan para orang tua
sebagai pendidik.
Pilar pertama dan kedua memang erat kaitannya dengan pembuat
kebijakan. Kita memang tak bisa banyak berbuat untuk mempengaruhi pemerintah
untuk mengubah definisi buta huruf dan menghapuskan kewajiban memakai seragam
di sekolah, namun kita bisa mulai menerapkan pola inti pemikiran yang sama
dengan kedua pilar tsb. Misalnya soal redefinisi buta huruf, kita bisa mulai
dengan menghargai keberagaman, menilai orang-orang yang memiliki kemampuan
“membaca” di luar aksara sebagai orang yang juga sejajar dengan kita. Tentang
seragam sekolah yang tidak semestinya menjadikewajiban, kita bisa mulai dengan
penerapan-penerapan toleransi dan tenggang rasa yang naluriah lahir dari
pengalaman “merasa”. Dan tentang pilar ketiga dan keempat, inti mendasar bagi
pola pendidikan yang paling mungkin diterapkan pada lini keluarga. Esensi.
Menyadari bahwa pendidikan bukanlah kebutuhan primer, dan sampai pada kesadaran
murni bahwa pendidikan penting untuk perbaikan kehidupan, hingga kesalihan
sosial disetujui sebagai parameter berhasilnya suatu sistem pendidikan.
Pada akhirnya, saya mempertanyakan narasumber mengapa
mepaparkan ide-idenya kepada saya? Apa gunanya? Saya tidak terlibat aktif
sebagai aktivis pendidikan, saya bukan guru, bahkan saya bukan orang tua, saya
bukan orang berpengaruh. Saya mempertanyakan kenapa saya harus tahu tentang
pilar-pilar tsb, dan apa yang bisa saya lakukan? Mustahil mengubah sistem
pendidikan yang kompleks, saya tidak menjadi bagian dari pembuat kebijakan.
Saya hampir pesimis ide-ide tsb dapat diterima menjadi pola pikir umum. Saya
bahkan pesimis bisa ikut andil dalam terwujudnya evolusi sistem pendidikan.
Kepesimisan saya kemudian dipatahkan oleh narasumber dengan kalimat,
“Kenapa pesimis? Lu takut gagal, yaz? Kenapa lagi mesti
takut gagal? Toh hidup kita juga pasti gagal, kok. Kenapa takut gagal, kalau
kita tau hidup kita akan ada gagalnya? Ya, coba
dulu aja, jalanin mekanismenya. ”
Lalu saya harus apa? Bagaimana? Mulai dari mana? Narasumber
berharap saya bisa menyampaikan ide-ide pada forum. Kalau pun saya punya
kesempatan untuk bicara pada banyak orang dalam forum pendidikan (walau
kesempatan ini hampir mustahil ada), toh, saya tidak akan memutuskan untuk
menyampaikan ide-ide ini. Melihat kapasitas dan kapabilitas saya yang bukan
sebagai pakar pendidikan. Menuliskannya, barangkali langkah yang paling mungkin
bagi saya, selain berharap ada pola pikir-pola pikir yang berubah setelah orang
lain membaca ini, tulisan ini pun pengingat bagi diri saya sendiri agar ide-ide
tersebut tidak mati sendirian dalam kepala saya. Sambil menunggu bisa
dipraktekkan pada keluarga saya nanti. Setelah setuju dengan ide-ide ini, langkah selanjutnya adalah mengubah pola pikir, dan jika sudah berkeluarga minimal mempraktekannya di lingkungan keluarga sendiri.
Semua perubahan besar, harus selalu berawal dari perubahan konsep-konsep inti, bukan?
(Sekali lagi, boleh tidak setuju)
Selesai.
(sumber gambar: ayikngalah.wordpress.com)