“Kalian bergabung dengan SAJUBU, alasan kuat yang membuat Anda gabung disini apa ya?”
Kak Faris, salah satu relawan SAJUBU regional Jatim, melempar bebas pertanyaan itu secara di grup WA.
Pertanyaan yang menarik ya, “alasannya apa?”
Sejujurnya saya tidak pernah dengan sengaja bergabung dengan SAJUBU, semua ini hanya bagian konspirasi Kak Novita saja :p. Ya, saya dijebak, dan saya ini sulit sekali bilang “tidak” terhadap tawaran-tawaran seperti ini. Begitu diajak jadi relawan di SAJUBU di awal tahun lalu, saya ingat saya jawab kurang lebih begini:
”gw akan bantu sebisa yg gw mampu Kak, tapi gw bener-bener gak janjiin apapun, gak bisa ngejamin apapun..”
Sebelumnya memang saya pernah terlibat pada beberapa organisasi atau komunitas sosial. Namun dari beberapa itu, seringkali saya merasa bahwa paham-paham yang diusung di organisasi atau komunitas sosial tersebut tidak sejalan dengan paham yang saya yakini benar. Pilah-pilih terhadap organisasi atau komunitas barangkali memang bagian dari idealisme saya, hahhha. Baiklah ijinkan saya cerita sedikit, saya pernah jadi bagian dari komunitas yang misinya meng-organizer kegiatan baksos. Mengadakan baksos dalam frekuensi yang cukup sering, memang bagus, tanpa unsur politik, pure mandiri dalam penggalangan dananya. Tapi entah kenapa saya berpikir, harusnya gak kayak gini, kita gak bisa ngasih terus menerus. Kegiatan baksos itu harus diselipkan serangkaian program sustainable yang membuat penerima manfaat bisa mandiri. Harusnya tidak sekedar baksos, itulah keyakinan saya, sampai pada suatu pertimbangan saya memutuskan vakum total pada komunitas itu. Dan pernah lagi saya tergabung dalam suatu organisasi peduli lingkungan, memang sistemik sekali, untuk bisa tergabung di dalamnya saya harus mengikuti serangkaian tes, dari mulai menulis esay, sampai beberapa kali wawancara. Namun setelah bergabung dan mencoba membaca ritme organisasi tersebut, yang saya simpulkan adalah... “kok kurang greget?”. Kenapa kurang greget? Karna saya rasa di organisasi itu kebanyakan seremonialnya ketimbang eksekusi nyata hahhhaha, yaa mungkin ini hanya pandangan saya saja. Lalu di usia pengabdian (halah pengabdian :p) yang masih seumur jagung, saya pun kembali memutuskan vakum (lebih tepatnya keluar secara halus) dari organisasi itu hanya karna: “kebanyakan seremonialnya..”.
Ya, cukup dua contoh itu lah. Intinya sebelumnya saya paling lama bertahan di suatu kelompok itu yaa 3 bulanan lah, lebih sering mundur karna merasa kurang cocok, hahhah. Saya terus mencari dan selalu membuka kesempatan pada kelompok-kelompok baru. Sampai akhirnya saya dipertemukan dengan SAJUBU, kamu tahu berapa lama saya bertahan di SAJUBU kak? Satu tahun, lebihh... dan itu rekor.
“alasannya apa?”
Mungkin karna saya suka baca buku, dan betul-betul mengalami betapa buku-buku banyak membentuk pemikiran saya. Diaz yang sekarang dan Diaz 6 tahun lalu adalah Diaz yang berbeda, Diaz terus berkembang karna pengaruh buku-buku yang dibacanya.
Tidak berlebihan jika SAJUBU punya tagline, “karna sebuah BUKU untuk sejuta MIMPI”
Hikmah buku-buku baik yang penuh inspirasi secara sadar maupun tidak sadar akan teresidu ke dalam benak para pembacanya. Buku-buku yang memiliki nilai-nilai moral dan optimisme akan terkonduksi ke dalam jiwa pembacanya, percaya? Saya percaya! Dan bayangkan jika buku-buku itu ada di tangan anak-anak yang sedang pesat-pesatnya berkembang. Usia SD, SMP, SMA... buku-buku baik akan mengantarkan mereka pada pemahaman yang baik pula, percaya? Saya percaya, Kak! Apa alasan kuat yang membuat saya bertahan? Ya, mungkin karena kepercayaan itulah, lebih tepatnya kepercayaan yang lahir dari pengalaman langsung. Cara pandang saya benar-benar pernah terputar sampai 180 derajat karna.. sebuah buku! Kadang kalimat-kalimat yang ada dalam sebuah buku itu bisa lebih sakti dari panah, rudal, samurai, dan beragam senjata canggih. Kalimat-kalimat dan hikmah dalam sebuah buku bisa saja menghujam kita satu kali, tapi membekas selamanya.
Yang saya tangkap, SAJUBU memiliki misi mendidik anak-anak bangsa lewat persebaran buku di seluruh wilayah Indonesia. Saya tertarik dengan misi tersebut, relawan SAJUBU tidak pernah jadi pengajar, relawan SAJUBU hanya jadi selang penghantar antara donatur dan perpustakaan-perpustakaan yang membutuhkan. Perpustakaan-perpustakaan yang memiliki pembaca aktif namun memiliki keterbatasan fasilitas untuk mendapatkan buku-buku. Nah, pembaca aktif perpustakaan-perpustakaan itu diharapkan akan berani menggenggam sejuta MIMPI mereka setelah membaca buku-buku yang menginspirasi. SAJUBU bekerja dibalik panggung bernama pendidikan, memang tidak turun langsung dalam urusan pendidikan formal anak-anak Indonesia, tapi bukankah membantu suplai bacaan-bacaan baik juga bisa disebut kegiatan yang mendidik?
Masih hapal kan kesulitan apa yang masih di hadapi negeri ini? Krisis moral. Kampanye gerakan membaca dengan cara membantu penyebaran bacaan-bacaan baik barangkali berpengaruh dalam mengoksidasi tingkat moral anak-anak. Dan sekali lagi, saya percaya itu.
Bungkus-bungkus buku, angkut-angkut buku, mengantar buku ke tempat-tempat yang bahkan kita tidak tahu. Kesana kemari muter otak gimana caranya buku-buku itu sampai dengan segala keterbatasan SAJUBU. Alur kegiatan yang kedengarannya remeh, ya. Bahkan mungkin akan banyak orang yang bertanya, “ngapain sih? Kok mau sih?” Barangkali bagi sebagian orang itu menjadi hal yang lucu. Bayangkan saja buku-buku itu akan sampai pada anak-anak yang juga tidak pernah kita kenal, siapa pula mereka? Dan kenapa pula mesti repot karena mereka? Tapi bagi sebagian orang yang percaya, matematika dan neraca untung-rugi jelas tidak berlaku disini.
Kalau kata Mas Ingky Rinaldi, jurnalis K*mpas, “Karna kita takkan pernah tau jiwa siapa dan seberapa besar jiwa-jiwa itu terpengaruh oleh apa-apa saja yang sudah kita bagikan... semangat! :) “
Mari membuat kesimpulan, “alasan kuat apa?”
Ya, saya katakan tadi mungkin karena saya suka baca buku. Tapi seiring berjalan waktu, saya seperti orang yang berjalan sambil tidur, sudah gak sadar lagi, sudah gak mikir lagi, jalan gitu aja... semua terjadi begitu saja... sudah kehilangan definisi alasan, Kak. Begitulah...
Jadi percaya saja, buku-buku baik yang sampai pada tempat yang tepat akan menjadi pengaruh yang baik pula.
Oiya, izinkan saya menutup catatan ini dengan kalimat yang agak filosofis (biar kece dikit gitu, hahhahah),
“Menemukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang se’jiwa’ itu... ibarat musafir yang menemukan jalan pulang.. dan sayalah musafir yang menemukan SAJUBU.. salah satu jalan pulang bagi saya”
Kak Faris, salah satu relawan SAJUBU regional Jatim, melempar bebas pertanyaan itu secara di grup WA.
SAJUBU |
Langsung saya jawab dengan, “Jawabannya aku email aja ya, panjang soalnya”
(lalu karna blog saya ini udah lama tak terjamah maka saya ubah haluan: jawabannya di blog)
Sejujurnya saya tidak pernah dengan sengaja bergabung dengan SAJUBU, semua ini hanya bagian konspirasi Kak Novita saja :p. Ya, saya dijebak, dan saya ini sulit sekali bilang “tidak” terhadap tawaran-tawaran seperti ini. Begitu diajak jadi relawan di SAJUBU di awal tahun lalu, saya ingat saya jawab kurang lebih begini:
”gw akan bantu sebisa yg gw mampu Kak, tapi gw bener-bener gak janjiin apapun, gak bisa ngejamin apapun..”
Sebelumnya memang saya pernah terlibat pada beberapa organisasi atau komunitas sosial. Namun dari beberapa itu, seringkali saya merasa bahwa paham-paham yang diusung di organisasi atau komunitas sosial tersebut tidak sejalan dengan paham yang saya yakini benar. Pilah-pilih terhadap organisasi atau komunitas barangkali memang bagian dari idealisme saya, hahhha. Baiklah ijinkan saya cerita sedikit, saya pernah jadi bagian dari komunitas yang misinya meng-organizer kegiatan baksos. Mengadakan baksos dalam frekuensi yang cukup sering, memang bagus, tanpa unsur politik, pure mandiri dalam penggalangan dananya. Tapi entah kenapa saya berpikir, harusnya gak kayak gini, kita gak bisa ngasih terus menerus. Kegiatan baksos itu harus diselipkan serangkaian program sustainable yang membuat penerima manfaat bisa mandiri. Harusnya tidak sekedar baksos, itulah keyakinan saya, sampai pada suatu pertimbangan saya memutuskan vakum total pada komunitas itu. Dan pernah lagi saya tergabung dalam suatu organisasi peduli lingkungan, memang sistemik sekali, untuk bisa tergabung di dalamnya saya harus mengikuti serangkaian tes, dari mulai menulis esay, sampai beberapa kali wawancara. Namun setelah bergabung dan mencoba membaca ritme organisasi tersebut, yang saya simpulkan adalah... “kok kurang greget?”. Kenapa kurang greget? Karna saya rasa di organisasi itu kebanyakan seremonialnya ketimbang eksekusi nyata hahhhaha, yaa mungkin ini hanya pandangan saya saja. Lalu di usia pengabdian (halah pengabdian :p) yang masih seumur jagung, saya pun kembali memutuskan vakum (lebih tepatnya keluar secara halus) dari organisasi itu hanya karna: “kebanyakan seremonialnya..”.
Ya, cukup dua contoh itu lah. Intinya sebelumnya saya paling lama bertahan di suatu kelompok itu yaa 3 bulanan lah, lebih sering mundur karna merasa kurang cocok, hahhah. Saya terus mencari dan selalu membuka kesempatan pada kelompok-kelompok baru. Sampai akhirnya saya dipertemukan dengan SAJUBU, kamu tahu berapa lama saya bertahan di SAJUBU kak? Satu tahun, lebihh... dan itu rekor.
“alasannya apa?”
Mungkin karna saya suka baca buku, dan betul-betul mengalami betapa buku-buku banyak membentuk pemikiran saya. Diaz yang sekarang dan Diaz 6 tahun lalu adalah Diaz yang berbeda, Diaz terus berkembang karna pengaruh buku-buku yang dibacanya.
Tidak berlebihan jika SAJUBU punya tagline, “karna sebuah BUKU untuk sejuta MIMPI”
Hikmah buku-buku baik yang penuh inspirasi secara sadar maupun tidak sadar akan teresidu ke dalam benak para pembacanya. Buku-buku yang memiliki nilai-nilai moral dan optimisme akan terkonduksi ke dalam jiwa pembacanya, percaya? Saya percaya! Dan bayangkan jika buku-buku itu ada di tangan anak-anak yang sedang pesat-pesatnya berkembang. Usia SD, SMP, SMA... buku-buku baik akan mengantarkan mereka pada pemahaman yang baik pula, percaya? Saya percaya, Kak! Apa alasan kuat yang membuat saya bertahan? Ya, mungkin karena kepercayaan itulah, lebih tepatnya kepercayaan yang lahir dari pengalaman langsung. Cara pandang saya benar-benar pernah terputar sampai 180 derajat karna.. sebuah buku! Kadang kalimat-kalimat yang ada dalam sebuah buku itu bisa lebih sakti dari panah, rudal, samurai, dan beragam senjata canggih. Kalimat-kalimat dan hikmah dalam sebuah buku bisa saja menghujam kita satu kali, tapi membekas selamanya.
Yang saya tangkap, SAJUBU memiliki misi mendidik anak-anak bangsa lewat persebaran buku di seluruh wilayah Indonesia. Saya tertarik dengan misi tersebut, relawan SAJUBU tidak pernah jadi pengajar, relawan SAJUBU hanya jadi selang penghantar antara donatur dan perpustakaan-perpustakaan yang membutuhkan. Perpustakaan-perpustakaan yang memiliki pembaca aktif namun memiliki keterbatasan fasilitas untuk mendapatkan buku-buku. Nah, pembaca aktif perpustakaan-perpustakaan itu diharapkan akan berani menggenggam sejuta MIMPI mereka setelah membaca buku-buku yang menginspirasi. SAJUBU bekerja dibalik panggung bernama pendidikan, memang tidak turun langsung dalam urusan pendidikan formal anak-anak Indonesia, tapi bukankah membantu suplai bacaan-bacaan baik juga bisa disebut kegiatan yang mendidik?
Masih hapal kan kesulitan apa yang masih di hadapi negeri ini? Krisis moral. Kampanye gerakan membaca dengan cara membantu penyebaran bacaan-bacaan baik barangkali berpengaruh dalam mengoksidasi tingkat moral anak-anak. Dan sekali lagi, saya percaya itu.
Bungkus-bungkus buku, angkut-angkut buku, mengantar buku ke tempat-tempat yang bahkan kita tidak tahu. Kesana kemari muter otak gimana caranya buku-buku itu sampai dengan segala keterbatasan SAJUBU. Alur kegiatan yang kedengarannya remeh, ya. Bahkan mungkin akan banyak orang yang bertanya, “ngapain sih? Kok mau sih?” Barangkali bagi sebagian orang itu menjadi hal yang lucu. Bayangkan saja buku-buku itu akan sampai pada anak-anak yang juga tidak pernah kita kenal, siapa pula mereka? Dan kenapa pula mesti repot karena mereka? Tapi bagi sebagian orang yang percaya, matematika dan neraca untung-rugi jelas tidak berlaku disini.
Kalau kata Mas Ingky Rinaldi, jurnalis K*mpas, “Karna kita takkan pernah tau jiwa siapa dan seberapa besar jiwa-jiwa itu terpengaruh oleh apa-apa saja yang sudah kita bagikan... semangat! :) “
Mari membuat kesimpulan, “alasan kuat apa?”
Ya, saya katakan tadi mungkin karena saya suka baca buku. Tapi seiring berjalan waktu, saya seperti orang yang berjalan sambil tidur, sudah gak sadar lagi, sudah gak mikir lagi, jalan gitu aja... semua terjadi begitu saja... sudah kehilangan definisi alasan, Kak. Begitulah...
Jadi percaya saja, buku-buku baik yang sampai pada tempat yang tepat akan menjadi pengaruh yang baik pula.
Salah satu pepustakaan penerima paket buku |
“Menemukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang se’jiwa’ itu... ibarat musafir yang menemukan jalan pulang.. dan sayalah musafir yang menemukan SAJUBU.. salah satu jalan pulang bagi saya”