Agustinus Wibisono, seorang travelwriter pernah bilang,
Dan hampir setahun dari perjalanan saya ke Palembang-Bangka, dan draft catatan ini sebernarnya sudah lama saya simpan di laptop. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memoles draft tersebut dan merilisnya. Tapi sayang, saya bukan orang yang pandai dalam mendeskripsikan tempat, makanya saya sebut tulisan ini sebagai hikayat, karna lebih banyak yang saya tuangkan adalah berdasar pengamatan perasaan bukan pengamatan oleh mata.
Kamis, 26 Desember 2013
KM. SWARNA DHARMA itu pelan melintas di selat Bangka, menyibak gelombangnya yang tenang. Di horizon, pulau Bangka telah nampak samar. Saya tertarik mengamati buih-buih yang ditinggalkan kapal. Air laut mula-mula berebut menjilat lambung kapal, yang kemudian menjelma buih-buih kecil, terlempar beberapa meter dari kapal, menjauh. Buih-buih menari-nari kecil (atau mungkin meronta?), membentuk pola yang tidak pernah searah, tidak pernah seragam. Buih-buih, dalam pengasingannya menunggu larut lagi dalam laut: menyambut ketiadaannya lagi. Saya pikir manusia bisa mencontek buih dalam beberapa soal. Kita tidak pernah tau apa yang terjadi pada buih ketika diempas kapal. Apakah menari atau meronta, bernyanyi atau merintih. Tetapi tarian atau rontaannya -yang kita lihat sebagai eksistensinya-, beserta nyanyian atau rintihannya -yang kita kenali sebagai ricik suaranya-, selalu berhasil menimbulkan ketenangan, berhasil melahirkan inspirasi baru. Manusia, seharusnya begitu, kehadiran dan kemunculan kita seharusnya terefleksi menjadi imbas positif, tidak peduli apa yang sebenarnya yang sedang terjadi pada diri kita.
Tak hanya digunung, diatas kapal antah berantah, yang mengapung berjam-jam di selat yang entah berapa mil dalamnya, kita -manusia- akan kembali menemukan esensi kerdilannya. Segala bentuk kesombongan akan terjun bebas menuju tempat yang lebih rendah dari telapak kaki. Siapa yang berani jamin kami benar-benar akan sampai ke Pulau Bangka walau jarak itu kian ringkas? Apapun bisa terjadi diatas laut, nahkoda ulung pun tak akan bisa menjamin kapal akan sandar dengan selamat. Tempat yang membuat saya merasa kecil, kerdil adalah titik saya dapat mengecup kebebasan saya kembali. Aneh rasanya, mengapa untuk merasa bebas sesederhana ini? Pergi, menyebrang Pulau, terlunta di tengah selat, mengamati buih, membiarkan tubuh ditampar angin, dan… ajaib sekali… saya lupa berapa jumlah hutang saya, saya lupa terhadap apa-apa yang belakangan ini menghimpit saya, lupa terhadap apa-apa yang membikin saya sulit tidur di malam-malam terakhir, lupa soal setumpuk pekerjaan kantor yang saya timmbun bak harta karun, lupa tanggal, lupa hari, lupa waktu, lupa terhadap janji-janji yang belum saya genapi, lupa terhadap resolusi 2013 lalu yang jauh dari kata terlaksana, lupa terhadap mimpi-mimpi yang terlanjur menjelma ‘miris-miris’, bahkan lupa kalau saya ini jomblo karatan jomblo menahun (alamak saya lupa ini hikayat ya bukan curcol-yat :p ), lupa saya dimana, dengan siapa, kenapa saya cantik??? (berusaha untuk konsisten serius di tulisan ini, tapi agaknya hampir gagal)
2 Hari berlalu setelah perjalanan ini dimulai. Ingatan saya kembali memutar mundur perjalanan kami. Dari mulai berkenalan dengan 2 orang asing yang selanjutnya menjadi teman perjalanan. Kak Apip yang selalu saya hina-hina perutnya, eksekutif muda punya cukup banyak pengalaman sebagai traveler. Kak Eko, yang membuat saya seakan-akan ada di film Tenggelamnya kapal Vanderwick karna logat Padangnya yang kental sekali, mirip Engku Zainuddin. Ka Novi? Sudahlah ia memang mirip makhluk asing luar angkasa, tapi ia bukan orang asing bagi saya, jadi mari kita skip hahhaha. Saya ingat bagaimana saya menunggu mereka sendirian di terminal Pulogadung, saat kami kelaparan di selat Jawa, saat tengah malam sampai di Pulau Sumatra. Perjalanan yang tidak sebentar dari stasiun Tanjung Karang (Lampung) menuju stasiun Kertapati (Palembang), 11 Jam!
[caption id="attachment_167" align="aligncenter" width="300"] Stasiun Tanjung Karang, Lampung[/caption]
Bukan jarak yang membuat perjalanan itu begitu lama, melainkan kereta kami yang berpuluh-puluh kali harus mengalah, berpuluh-puluh kali berhenti di stasiun-stasiun demi memberi jalan pada kereta Babaranjang (batubara rangkaian panjang). Kereta barang yang mengangkut puluhan gerbong berisi batubara yang energinya bisa menerangi satu Indonesia! Jalur sepanjang Lampung-Palembang adalah rel kereta yang membelah hutan, lagi-lagi saya berfantasi seolah berada di kereta menuju sekolah sihir Hogwarts! Kiri-kanan ku lihat saja kebon-kebon semua. Perjalanan yang asik di kereta karna kami berkenalan dengan bapak setengah baya yang ramah sekali, beliau mencerikatakn banyak sejarah tentang Palemang, bahkan beliau menawarkan tumpangan pulang sampai ke Merak.
Saya masih merekam malam yang romantis di Ampera (jomblo boleh juga dong ngerasain romantis wkwkwk), lampu-lampu Ampera yang kian menambah manis sungai Musi. Ampera adalah tempat yang amat hidup, nadi Palembang ada disana, seperti Monas lah kalau versi Jakarta-nya.
[caption id="attachment_175" align="aligncenter" width="300"] di Ampera, ketemu temen-temen kuliah Ka Sem dan Ka Endang[/caption]
Dekat dengan Ampera berdirilah Benteng Kota Besak, sebuah benteng angkatan darat di kota Palembang, sayang kami hanya bisa foto-foto di depannya. Lalu kami di bawa ke Masjid raya kota Palembang oleh para ‘tuan rumah’.
[caption id="attachment_166" align="aligncenter" width="300"] Masjid Raya kota Palembang[/caption]
Tuan rumah yang saya maksud adalah ka Sem, ka Endang, dan beberapa adik-adik lain yang memang berdomisili di Palembang, dan mereka dengan penuh kebesaran hati rela menyambut kami sebagai tamu jauh dan pasrah kediamannya menjadi tempat kami memparasitkan diri. Malam yang penuh kehangatan situtup dengan makanan khas Palembang (saya lupa namanya, semacam telur yang dicampur dengan Mpek-Mpek) di angkringan sebarng Mesjid Raya.
[caption id="attachment_168" align="aligncenter" width="300"] Kongkow-kongkow di angkringan[/caption]
Kami bermalam di rumah ka Sem dan ka Endang. Satu hal yang saya ingat dari rumah mereka, yaitu kulkas yang penuh dengan sayuran busuk, saya bilang gini,
Dan pagi-pagi sekali sudah harus ke Pelabuhan Tanjung si Api-api mengejar kapal cepat pertama menuju Bangka, dari berempat, sekarang rombangan bertambah 2 orang lagi, tentu saja mereka adalah Ka Sem dan Ka Endang. Sayang kami ketinggalan kapal pertama yang berangkat pukul 10 pagi, KM. SWARNA DHARMA ini merupakn kapal dengan jadwal keberangkatan kedua di hari itu, tepat tengah hari kapal kami tandas menuju… pulau yang dari bertahun-tahun lalu begitu saya ingin lancongi: Bangka! Sebentar lagi. Sebentar lagi. Saya menunggu bertahun-tahun untuk sampai pada kesempatan ini. Sebentar lagi, saya tiba. Sebentar lagi.
Dan selat telah terlanjur membuat jarak. Tapi tak pernah menjadi sekat bagi orang tua-anak, kakak-adik, sanak-sahabat. Rindu itu bertarung diantara bentang pelabuhan dan kapal yang hampir sandar, rindu itu berebut agar lekas larung. Ratusan pasang mata tak sabar, ingin memeluk kata pulang, ingin menjejak rantau tujuan. Dan pasang-pasang mata di kubu lain sama tak sabarnya menyambut sesiapa yang akan sampai. Rumah atau rantau? Kita bahkan terlalu lugu untuk paham mana yang sebenar-benarnya menjadi tempat ‘pulang’.
[caption id="attachment_169" align="aligncenter" width="300"] Pantai Tanjung Kalian[/caption]
Mercusuar mulai terlihat, merah dan putih warnanya. Petanda jarak itu amat tipis. Selepas Ashar kami kapal kami karam, setelah menggenapi 3,5 jam perjalanan dari Tanjung Api-api. Pelabuhan tua kota Muntok, Tanjung Kalian seketika menjelma penyembuh bagi wajah-wajah yang kelelahan menunggu, pun bagi wajah-wajah yang kelelahan menyebrangi pulau. Muntok katanya kota bersejarah di barat Bangka. Pelabuhannya dipakai sebagai prasana mengangkut timah putih sejak jaman Belanda. Mercusuar Tanjung Kalian berwarna merah putih entah sejarah apa dibalik bangunan itu.
Bertemu dengan Ka Idris di pelabuhan setelah menahun lamanya, saya seperti bertemu dengan orang baru. Bahasa dan logat Bangkanya yang kental beserta aura kebapakannya (atau mungkin aura ketuaannya) membuat Ka Idris bertransformasi menjadi individu yang berbeda dari jaman sekolah dulu. Kami menuju pantai Tanjung Kalian dengan motor pinjaman. Hanya sekitar 10 menit, letaknya di sebelah barat pelabuhan. K Endar, sosok mungilyang ternyata di rahimnya sedang mengandung janin usia 4 bulan, calon adik Anin. Anin, saya lupa berapa usianya, mungkin 3 tahun. Mereka ternyata sudah lama menunggu disana, diatas bangku semen yang berhadapan dengan tugu memoriam korban penembakan kapal pada jaman Perang Dunia 2. Potongan bangkai kapal yang legam masih tertanam di bibir pantai. Menggenapi nuansa etnik pantai itu. Tanjung Kalian berpasir kasar, cangkang-cangkang kerang, pecahan-pecahan koral lebih mendominasi dibanding pasirnya sendiri. Pantai itu ramai, beberapa meter dari bibir pantai berjejer pedagang makanan. Happy family, melihat keluaga kecil Ka Idris, membuat saya berambisi lagi terhadap impian liar saya: merantau, hidup berdampingan dengan alam, menetap dan berkeluarga di pelosok yang jauh dari lampu-lampu kemewahan kota.
[caption id="attachment_170" align="aligncenter" width="300"] Dari atas mercusuar Tanjung Kalian[/caption]
Mercusuar Tanjung Kalian, setinggi 56 meter, yang konon adalah peninggalan Inggris letaknya tepat di sebrang Tugu Memoriam, kami berlima pamit sebentar untuk kesana. 192 anak tangga (hasil perhitungan quickcount) melingkar menuju atap Tanjung Kalian. Makin keatas makin menyempit dan kegelapan makin pudar, pengaruh silau cahaya matahari dari sudut puncak mercusuar. Beberapa kali kami menemukan lubang-lubang buatan sebesar jam dinding. Di pucuk mercusuar, sebagian kota Muntok terlihat. Di sebelah Timur, nadi pelabuhan yang seakan tak pernah mati. Kapal-kapal yang terlihat seukuran manekin mengapung di selat, berseliweran, kapal-kapal yang hampir sandar maupun yang baru saja tandas. Sedikit menyimpang ke arah barat dari pelabuhan, terdapat lapang pasir bertekstur padat, yang ternyata adalah semacam ‘camping ground’ rasa pantai. Beberapa tenda berdiri, anak-anak pramuka ramai disana, sepertinya sedang belangsung permainan yang menyita antusias mereka. Tepat di barat tentu saja adalah bentangan pantai Tanjung Kalian. Jauh di utara sana, tampak bentangan daratan tinggi, mungkin perbukitan. Di bagian sentral tampak kebun-kebun sawit, lahan-lahan kuning yang setengahnya tergerus, mungkin tempat penambangan pasir atau timah barangkali. Jika saya berada di jallan layaang Jakarta, yang terlihat adalah rumah-rumah dengan jarak yang rapat dan berjajar acak. Tapi diatas mercusuar, blok-blok rumah tampak berjauhan, jauh dari kata sesak. Jika diatas mercusuar saja suguhannya sudah seindah ini, mengapa saya perlu susah-susah naik gunung? Sayangnya jumlah mercusuar yang jadi tempat wisata di Pulau Jawa (atau bahkan pulau-pulau lain pun demikian) jumlahnya masih teramat sedikit dibanding jumlah destinasi gunung-gunungnya. Jadi, saya memang masih perlu untuk naik gunung :p .
Lupa diri, lupa waktu, itu yang terjadi pada kami. Ka Idris dan keluarga sudah hampir berkarat menunggu di pantai. Hampir magrib. Pantai mendadak mati, sepi dari pengunjung, sepi dari pedagang. Selanjutnya kami menuju rumah Ka Idris di kawasan Muntok kota, dengan (tentu saja) motor pinjaman. Sepanjang perjalanan pun sepi, tak jarang kanan-kiri ruas jalan hanyalah kebun atau bahkan tanah kosong. Kalau di Pulau Jawa, scene mirip dengan itu, sesepi itu, mungkin pernah ada dari jaman pra-masehi sampai runtuhnya Kerajaan Kuno, beratus-ratus tahun sebelum revolusi pembangunan. Yang saya amat cintai dari berkelana ke daerah luar P. Jawa adalah landscape jalanan yang steril dari macet, steril dari mulut-mulut emosi sopir & kernet. Perjalanan kami memakan waktu 35 menit. Ka Idris dan keluarga tinggal di rumah dinas yang satu komplek juga dengan kawasan tambang timah.
[caption id="attachment_171" align="aligncenter" width="300"] di rumah Ka Idris nih[/caption]
Setelah makan malam, Ka Idris mengajak kami jelajah malam. Bagaikan geng motor, kami iring-iringan menuju Museum Timah Muntok. Agaknya kota yang tadi sepi mulai ramai lagi di malam hari, keramaian terpusat di kedai-kedai kopi. Jangan membayangkan keramaian mall ala kota, orang Bangka punya standar berbeda mengenai ‘ramai’, ‘cepat-lama’ dan ‘jarak’ dibanding orang Jakarta. Sayangnya sepetang itu Museum Timah Bangka sudah tutup. Bangunan ex-Belanda yang hanya sedikit dimodifikasi itu dirasa agak mistis oleh Ka Novi, entah apa yang dia lihat. Setelah mengambil beberapa gambar dari depan pagar, kami pun melanjutkan jelajah, kali ini menuju Tugu Soekarno – Hatta, yang sebenernya juga sudah kami lewati saat menuju rumah Ka Idris. Gelap, membuat tugu itu tidak utuh tertangkap kamera. Sayang, kami tidak sempat ke bukit Menumbing, tempat pengasingan Bung Karno jaman Agresi Militer Belanda II.
Jumat, 27 Desember 2013
Satu hari yang begitu singkat untuk menjelajahi Bangka. Kolam berwarna biru muda meluruhkan semua lelah saya setelah lewat setengah hari di duduk di dalam mobil. Ya, kami memulai island explore ini sejak pagi dengan mobil sewaan. Dari kota Muntok menuju Sungailiat sebagai destinasi terkahir. Dari museum Timah Pangkal Pinang kami ketambahan satu guide lagi, Ka Wahyu yang selanjutnya memandu kami di perjalanan hari itu. Pantai Pasir Padi yang begitu anggun dengan kesunyiannya, jangan bayangkan pantai yang ramai, tidak ada anak-anak kecil yang lari-lari di bibir pantai. Hanya ada kami, duduk di tumpukan batu pembatas bibir pantai. Tidak banyak berfoto, hanya duduk, diam, menikmati, kemudian hujan. Hujan membuat kami tidak bisa berlama-lama di pantai Pasir Padi, tapi perjalanan bukan soal lama atau sebentar tiba di tempat tujuan. Perjalanan bicara tentang pengalaman, tentang pemaknaan, sebentar atau lama hanya ukuran waktu. Tetapi pengalaman dan pemaknaannya akan tetap sama, menemukan pantai yang sepi telah lebih dari cukup membuat saya merasa beruntung di hari itu.
Kembali lagi ke kolam biru, serupa danau, selanjutnya saya menyebutnya Danau Milkshake karna warna biru turquoise airnya benar-benar mirip Milkshake. Jangan tanya soal keindahan, kalau tidak indah bagaimana mungkin sebuah danau bisa begitu menyita perhatian kami, membuat kami mendadak menepi tanpa rencana di tempat itu. Danau Milkshake bukan tempat wisata, kami tak sengaja menemukannya di perjalanan menuju pantai-pantai di Sungailiat. Tidak ada retribusi untuk masuk. Danau Milkshake adalah eks tambang timah illegal, yang entah dulu berapa kepala yang menjadi korban proyek penambangan timbah yang jauh dari kata aman. Ada satu hal lagi yang saya garis bawahi: tidak semua yang terlihat indah sekarang lahir dari proses yang indah pula. Bagi saya, danau Milkshake adalah tempat paling berkesan dalam perjalanan Palembang-Bangka kali ini.
[caption id="attachment_176" align="aligncenter" width="300"] sesi pemotretan di Danau Milkshake[/caption]
Selanjutnya kami menyempatkan mampir ke Klenteng Marina Bay, kelenteng yang seolah-olah letaknya berada di tebing pantai Marina Bay. Lagi-lagi saya gagal mencari tau tentang sejarah klenteng megah itu. Rasanya unik sekali ada bangunan semegah itu di tempat antah berantah yang jauh dari peradaban. Pantai-pantai di Sungailiat itu letaknya ujung sekali loh, pasti ada satu sejarah di balik pembangunan klenteng tersebut. Kami tidak sempat bermain-main di pantai Marina Bay, hanya melihat saja dari klenteng. Pantai terakhir kami di hari itu adalah pantai Parai, konon yang terindah di Sungailiat. Tak sampai satu jam dari Marina Bay. Dan apa yang saya temukan di pantai Parai? Resort-resort berjajar tak jauh dari bibir pantai seolah-olah ingin menyaingi kemegahan Parai, ada restoran seafood yang langsung menghadap bibir pantai. Parai begitu hidup dengan keceriaan anak-anak, dengan keramaian pengunjung. Batu-batu besar dipinggir pantai, dermaga yang belum selesai dibangun, beberapa perahu kayu yang bersandar di pohon kelapa dekat pantai, suguhan pemandangan yang mungkin mirip-mirip dengan pantai tempat syuting laskar pelangi.
Hanya saja Parai terlalu ramai untuk ukuran manusia yang selalu mencari keterasingan seperti saya, hahahha. Cukup lama kami juga menikmati Parai. Selepas magrib kami kembali menuju Muntok, dengan rute berbeda dari keberangkatan. Lalu enyempatkan mampir ke rumah Ka Nandya, ibu muda yang baru aja punya dedek bayi. Malam itu terakhir di P. Bangka. Benar-benar hari yang terlalu singkat!
Esoknya kami pagi-pagi sekali kami sudah ada kembali di Tanjung Kalian. Anin sempat nangis saat kami saat kami pamit pulang dari rumahnya menuju Tanjung Kalian, anak kecil memang selalu perasa.
Sulit rasanya mengucapakan selamat tinggal pada Bangka, tapi hidup harus terus berjalan, kami harus pulang. Menuju Palembang kami lagi-lagi melewati rute yang berbeda. Kali ini dari Tanjung Kalian menuju pelabuhan Bombaru, Palembang. Dari selat Bangka yang biru, menyempit memasuki sungai Musi yang kecoklatan. Kapal cepat yang kami tumpangi mengurangi kecepatannya ketika sampai pada sungai Musi. Lengkap sudah, lintas darat, lintas selat, lintas rel keretam dan lintas sungai! Satu yang gak bisa saya lupa saat mengarungi Musi, banyak sekali perahu-perahu kecil yang melintas di Musi. Dan kalian tau siapa penumpangnya dan siapa yang mendayung? Anak-anak kecil! Astaga, apa mereka tau berapa dalam sungai Musi? Saya jamin mereka pandai berenang, tapi menyebrangi sungai terpanjang di Sumatera tanpa orang dewasa adalah hal ajaib! Rasa takut anak-anak itu seperti sudah dilarungkan jauh-jauh di sungai Musi. Mungkin sudah jadi hukum alam, siapa yang lahir dan hidup di pinggiran sungai akan menjadi pendayung dan perenang ulung. Manusia selalu menyesuaikan diri dengan alam tempat hidupnya. Dan alam selalu memberikan toleransi. Menyebrangi sungai Musi adalah pengalaman unik terakhir saya dalam perjalanan itu, perjalanan pulang dari Palembang ke Jakarta kembali tidak berbeda sengan keberangkatan kami. Naik kereta dari st. Kertapati menuju st. Tanjung Karang, lalu menyebrang selat dari Bakauheni ke Merak.
(NB: Kalau butuh rincian detail mengenai manajemen perjalanan saya ini seperti rincian waktu, ongkos, dan armada silahkan pm saya, uang yang saya habiskan dalam perjalanan ini sekitar 700ribuan)
“Berikan jarak antara perjalanan dengan catatan perjalanan…”
Dan hampir setahun dari perjalanan saya ke Palembang-Bangka, dan draft catatan ini sebernarnya sudah lama saya simpan di laptop. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memoles draft tersebut dan merilisnya. Tapi sayang, saya bukan orang yang pandai dalam mendeskripsikan tempat, makanya saya sebut tulisan ini sebagai hikayat, karna lebih banyak yang saya tuangkan adalah berdasar pengamatan perasaan bukan pengamatan oleh mata.
Kamis, 26 Desember 2013
KM. SWARNA DHARMA itu pelan melintas di selat Bangka, menyibak gelombangnya yang tenang. Di horizon, pulau Bangka telah nampak samar. Saya tertarik mengamati buih-buih yang ditinggalkan kapal. Air laut mula-mula berebut menjilat lambung kapal, yang kemudian menjelma buih-buih kecil, terlempar beberapa meter dari kapal, menjauh. Buih-buih menari-nari kecil (atau mungkin meronta?), membentuk pola yang tidak pernah searah, tidak pernah seragam. Buih-buih, dalam pengasingannya menunggu larut lagi dalam laut: menyambut ketiadaannya lagi. Saya pikir manusia bisa mencontek buih dalam beberapa soal. Kita tidak pernah tau apa yang terjadi pada buih ketika diempas kapal. Apakah menari atau meronta, bernyanyi atau merintih. Tetapi tarian atau rontaannya -yang kita lihat sebagai eksistensinya-, beserta nyanyian atau rintihannya -yang kita kenali sebagai ricik suaranya-, selalu berhasil menimbulkan ketenangan, berhasil melahirkan inspirasi baru. Manusia, seharusnya begitu, kehadiran dan kemunculan kita seharusnya terefleksi menjadi imbas positif, tidak peduli apa yang sebenarnya yang sedang terjadi pada diri kita.
Tak hanya digunung, diatas kapal antah berantah, yang mengapung berjam-jam di selat yang entah berapa mil dalamnya, kita -manusia- akan kembali menemukan esensi kerdilannya. Segala bentuk kesombongan akan terjun bebas menuju tempat yang lebih rendah dari telapak kaki. Siapa yang berani jamin kami benar-benar akan sampai ke Pulau Bangka walau jarak itu kian ringkas? Apapun bisa terjadi diatas laut, nahkoda ulung pun tak akan bisa menjamin kapal akan sandar dengan selamat. Tempat yang membuat saya merasa kecil, kerdil adalah titik saya dapat mengecup kebebasan saya kembali. Aneh rasanya, mengapa untuk merasa bebas sesederhana ini? Pergi, menyebrang Pulau, terlunta di tengah selat, mengamati buih, membiarkan tubuh ditampar angin, dan… ajaib sekali… saya lupa berapa jumlah hutang saya, saya lupa terhadap apa-apa yang belakangan ini menghimpit saya, lupa terhadap apa-apa yang membikin saya sulit tidur di malam-malam terakhir, lupa soal setumpuk pekerjaan kantor yang saya timmbun bak harta karun, lupa tanggal, lupa hari, lupa waktu, lupa terhadap janji-janji yang belum saya genapi, lupa terhadap resolusi 2013 lalu yang jauh dari kata terlaksana, lupa terhadap mimpi-mimpi yang terlanjur menjelma ‘miris-miris’, bahkan lupa kalau saya ini jomblo karatan jomblo menahun (alamak saya lupa ini hikayat ya bukan curcol-yat :p ), lupa saya dimana, dengan siapa, kenapa saya cantik??? (berusaha untuk konsisten serius di tulisan ini, tapi agaknya hampir gagal)
“Suatu saat lo akan merindukan perjalanan ini yaz…” kata ka novi, yang kemudian saya sambut dengan senyuman. Ingin rasanya menimpali, bahkan sebelum perjalanan ini berakhir, rindu itu sudah dimulai.
2 Hari berlalu setelah perjalanan ini dimulai. Ingatan saya kembali memutar mundur perjalanan kami. Dari mulai berkenalan dengan 2 orang asing yang selanjutnya menjadi teman perjalanan. Kak Apip yang selalu saya hina-hina perutnya, eksekutif muda punya cukup banyak pengalaman sebagai traveler. Kak Eko, yang membuat saya seakan-akan ada di film Tenggelamnya kapal Vanderwick karna logat Padangnya yang kental sekali, mirip Engku Zainuddin. Ka Novi? Sudahlah ia memang mirip makhluk asing luar angkasa, tapi ia bukan orang asing bagi saya, jadi mari kita skip hahhaha. Saya ingat bagaimana saya menunggu mereka sendirian di terminal Pulogadung, saat kami kelaparan di selat Jawa, saat tengah malam sampai di Pulau Sumatra. Perjalanan yang tidak sebentar dari stasiun Tanjung Karang (Lampung) menuju stasiun Kertapati (Palembang), 11 Jam!
[caption id="attachment_167" align="aligncenter" width="300"] Stasiun Tanjung Karang, Lampung[/caption]
Bukan jarak yang membuat perjalanan itu begitu lama, melainkan kereta kami yang berpuluh-puluh kali harus mengalah, berpuluh-puluh kali berhenti di stasiun-stasiun demi memberi jalan pada kereta Babaranjang (batubara rangkaian panjang). Kereta barang yang mengangkut puluhan gerbong berisi batubara yang energinya bisa menerangi satu Indonesia! Jalur sepanjang Lampung-Palembang adalah rel kereta yang membelah hutan, lagi-lagi saya berfantasi seolah berada di kereta menuju sekolah sihir Hogwarts! Kiri-kanan ku lihat saja kebon-kebon semua. Perjalanan yang asik di kereta karna kami berkenalan dengan bapak setengah baya yang ramah sekali, beliau mencerikatakn banyak sejarah tentang Palemang, bahkan beliau menawarkan tumpangan pulang sampai ke Merak.
Saya masih merekam malam yang romantis di Ampera (jomblo boleh juga dong ngerasain romantis wkwkwk), lampu-lampu Ampera yang kian menambah manis sungai Musi. Ampera adalah tempat yang amat hidup, nadi Palembang ada disana, seperti Monas lah kalau versi Jakarta-nya.
[caption id="attachment_175" align="aligncenter" width="300"] di Ampera, ketemu temen-temen kuliah Ka Sem dan Ka Endang[/caption]
Kalau Maria di AAC The Movie bilang, “Kurasa sungai Nil dan Mesir itu jodoh..”. Maka pada malam itu saya ikut berkesimpulan.. “Jodoh itu.. sungai Musi dan Palembang”.
Dekat dengan Ampera berdirilah Benteng Kota Besak, sebuah benteng angkatan darat di kota Palembang, sayang kami hanya bisa foto-foto di depannya. Lalu kami di bawa ke Masjid raya kota Palembang oleh para ‘tuan rumah’.
[caption id="attachment_166" align="aligncenter" width="300"] Masjid Raya kota Palembang[/caption]
Tuan rumah yang saya maksud adalah ka Sem, ka Endang, dan beberapa adik-adik lain yang memang berdomisili di Palembang, dan mereka dengan penuh kebesaran hati rela menyambut kami sebagai tamu jauh dan pasrah kediamannya menjadi tempat kami memparasitkan diri. Malam yang penuh kehangatan situtup dengan makanan khas Palembang (saya lupa namanya, semacam telur yang dicampur dengan Mpek-Mpek) di angkringan sebarng Mesjid Raya.
[caption id="attachment_168" align="aligncenter" width="300"] Kongkow-kongkow di angkringan[/caption]
Kami bermalam di rumah ka Sem dan ka Endang. Satu hal yang saya ingat dari rumah mereka, yaitu kulkas yang penuh dengan sayuran busuk, saya bilang gini,
“Ka, rumah ini butuh kehadiran wanita biar sayuran-sayurannya dan bahan masak lainnya gak busuk gitu aja di kulkas, hahhahaha.” Komporable kan?!
Dan pagi-pagi sekali sudah harus ke Pelabuhan Tanjung si Api-api mengejar kapal cepat pertama menuju Bangka, dari berempat, sekarang rombangan bertambah 2 orang lagi, tentu saja mereka adalah Ka Sem dan Ka Endang. Sayang kami ketinggalan kapal pertama yang berangkat pukul 10 pagi, KM. SWARNA DHARMA ini merupakn kapal dengan jadwal keberangkatan kedua di hari itu, tepat tengah hari kapal kami tandas menuju… pulau yang dari bertahun-tahun lalu begitu saya ingin lancongi: Bangka! Sebentar lagi. Sebentar lagi. Saya menunggu bertahun-tahun untuk sampai pada kesempatan ini. Sebentar lagi, saya tiba. Sebentar lagi.
Dan selat telah terlanjur membuat jarak. Tapi tak pernah menjadi sekat bagi orang tua-anak, kakak-adik, sanak-sahabat. Rindu itu bertarung diantara bentang pelabuhan dan kapal yang hampir sandar, rindu itu berebut agar lekas larung. Ratusan pasang mata tak sabar, ingin memeluk kata pulang, ingin menjejak rantau tujuan. Dan pasang-pasang mata di kubu lain sama tak sabarnya menyambut sesiapa yang akan sampai. Rumah atau rantau? Kita bahkan terlalu lugu untuk paham mana yang sebenar-benarnya menjadi tempat ‘pulang’.
[caption id="attachment_169" align="aligncenter" width="300"] Pantai Tanjung Kalian[/caption]
Mercusuar mulai terlihat, merah dan putih warnanya. Petanda jarak itu amat tipis. Selepas Ashar kami kapal kami karam, setelah menggenapi 3,5 jam perjalanan dari Tanjung Api-api. Pelabuhan tua kota Muntok, Tanjung Kalian seketika menjelma penyembuh bagi wajah-wajah yang kelelahan menunggu, pun bagi wajah-wajah yang kelelahan menyebrangi pulau. Muntok katanya kota bersejarah di barat Bangka. Pelabuhannya dipakai sebagai prasana mengangkut timah putih sejak jaman Belanda. Mercusuar Tanjung Kalian berwarna merah putih entah sejarah apa dibalik bangunan itu.
Bertemu dengan Ka Idris di pelabuhan setelah menahun lamanya, saya seperti bertemu dengan orang baru. Bahasa dan logat Bangkanya yang kental beserta aura kebapakannya (atau mungkin aura ketuaannya) membuat Ka Idris bertransformasi menjadi individu yang berbeda dari jaman sekolah dulu. Kami menuju pantai Tanjung Kalian dengan motor pinjaman. Hanya sekitar 10 menit, letaknya di sebelah barat pelabuhan. K Endar, sosok mungilyang ternyata di rahimnya sedang mengandung janin usia 4 bulan, calon adik Anin. Anin, saya lupa berapa usianya, mungkin 3 tahun. Mereka ternyata sudah lama menunggu disana, diatas bangku semen yang berhadapan dengan tugu memoriam korban penembakan kapal pada jaman Perang Dunia 2. Potongan bangkai kapal yang legam masih tertanam di bibir pantai. Menggenapi nuansa etnik pantai itu. Tanjung Kalian berpasir kasar, cangkang-cangkang kerang, pecahan-pecahan koral lebih mendominasi dibanding pasirnya sendiri. Pantai itu ramai, beberapa meter dari bibir pantai berjejer pedagang makanan. Happy family, melihat keluaga kecil Ka Idris, membuat saya berambisi lagi terhadap impian liar saya: merantau, hidup berdampingan dengan alam, menetap dan berkeluarga di pelosok yang jauh dari lampu-lampu kemewahan kota.
[caption id="attachment_170" align="aligncenter" width="300"] Dari atas mercusuar Tanjung Kalian[/caption]
Mercusuar Tanjung Kalian, setinggi 56 meter, yang konon adalah peninggalan Inggris letaknya tepat di sebrang Tugu Memoriam, kami berlima pamit sebentar untuk kesana. 192 anak tangga (hasil perhitungan quickcount) melingkar menuju atap Tanjung Kalian. Makin keatas makin menyempit dan kegelapan makin pudar, pengaruh silau cahaya matahari dari sudut puncak mercusuar. Beberapa kali kami menemukan lubang-lubang buatan sebesar jam dinding. Di pucuk mercusuar, sebagian kota Muntok terlihat. Di sebelah Timur, nadi pelabuhan yang seakan tak pernah mati. Kapal-kapal yang terlihat seukuran manekin mengapung di selat, berseliweran, kapal-kapal yang hampir sandar maupun yang baru saja tandas. Sedikit menyimpang ke arah barat dari pelabuhan, terdapat lapang pasir bertekstur padat, yang ternyata adalah semacam ‘camping ground’ rasa pantai. Beberapa tenda berdiri, anak-anak pramuka ramai disana, sepertinya sedang belangsung permainan yang menyita antusias mereka. Tepat di barat tentu saja adalah bentangan pantai Tanjung Kalian. Jauh di utara sana, tampak bentangan daratan tinggi, mungkin perbukitan. Di bagian sentral tampak kebun-kebun sawit, lahan-lahan kuning yang setengahnya tergerus, mungkin tempat penambangan pasir atau timah barangkali. Jika saya berada di jallan layaang Jakarta, yang terlihat adalah rumah-rumah dengan jarak yang rapat dan berjajar acak. Tapi diatas mercusuar, blok-blok rumah tampak berjauhan, jauh dari kata sesak. Jika diatas mercusuar saja suguhannya sudah seindah ini, mengapa saya perlu susah-susah naik gunung? Sayangnya jumlah mercusuar yang jadi tempat wisata di Pulau Jawa (atau bahkan pulau-pulau lain pun demikian) jumlahnya masih teramat sedikit dibanding jumlah destinasi gunung-gunungnya. Jadi, saya memang masih perlu untuk naik gunung :p .
Lupa diri, lupa waktu, itu yang terjadi pada kami. Ka Idris dan keluarga sudah hampir berkarat menunggu di pantai. Hampir magrib. Pantai mendadak mati, sepi dari pengunjung, sepi dari pedagang. Selanjutnya kami menuju rumah Ka Idris di kawasan Muntok kota, dengan (tentu saja) motor pinjaman. Sepanjang perjalanan pun sepi, tak jarang kanan-kiri ruas jalan hanyalah kebun atau bahkan tanah kosong. Kalau di Pulau Jawa, scene mirip dengan itu, sesepi itu, mungkin pernah ada dari jaman pra-masehi sampai runtuhnya Kerajaan Kuno, beratus-ratus tahun sebelum revolusi pembangunan. Yang saya amat cintai dari berkelana ke daerah luar P. Jawa adalah landscape jalanan yang steril dari macet, steril dari mulut-mulut emosi sopir & kernet. Perjalanan kami memakan waktu 35 menit. Ka Idris dan keluarga tinggal di rumah dinas yang satu komplek juga dengan kawasan tambang timah.
[caption id="attachment_171" align="aligncenter" width="300"] di rumah Ka Idris nih[/caption]
Setelah makan malam, Ka Idris mengajak kami jelajah malam. Bagaikan geng motor, kami iring-iringan menuju Museum Timah Muntok. Agaknya kota yang tadi sepi mulai ramai lagi di malam hari, keramaian terpusat di kedai-kedai kopi. Jangan membayangkan keramaian mall ala kota, orang Bangka punya standar berbeda mengenai ‘ramai’, ‘cepat-lama’ dan ‘jarak’ dibanding orang Jakarta. Sayangnya sepetang itu Museum Timah Bangka sudah tutup. Bangunan ex-Belanda yang hanya sedikit dimodifikasi itu dirasa agak mistis oleh Ka Novi, entah apa yang dia lihat. Setelah mengambil beberapa gambar dari depan pagar, kami pun melanjutkan jelajah, kali ini menuju Tugu Soekarno – Hatta, yang sebenernya juga sudah kami lewati saat menuju rumah Ka Idris. Gelap, membuat tugu itu tidak utuh tertangkap kamera. Sayang, kami tidak sempat ke bukit Menumbing, tempat pengasingan Bung Karno jaman Agresi Militer Belanda II.
Jumat, 27 Desember 2013
Satu hari yang begitu singkat untuk menjelajahi Bangka. Kolam berwarna biru muda meluruhkan semua lelah saya setelah lewat setengah hari di duduk di dalam mobil. Ya, kami memulai island explore ini sejak pagi dengan mobil sewaan. Dari kota Muntok menuju Sungailiat sebagai destinasi terkahir. Dari museum Timah Pangkal Pinang kami ketambahan satu guide lagi, Ka Wahyu yang selanjutnya memandu kami di perjalanan hari itu. Pantai Pasir Padi yang begitu anggun dengan kesunyiannya, jangan bayangkan pantai yang ramai, tidak ada anak-anak kecil yang lari-lari di bibir pantai. Hanya ada kami, duduk di tumpukan batu pembatas bibir pantai. Tidak banyak berfoto, hanya duduk, diam, menikmati, kemudian hujan. Hujan membuat kami tidak bisa berlama-lama di pantai Pasir Padi, tapi perjalanan bukan soal lama atau sebentar tiba di tempat tujuan. Perjalanan bicara tentang pengalaman, tentang pemaknaan, sebentar atau lama hanya ukuran waktu. Tetapi pengalaman dan pemaknaannya akan tetap sama, menemukan pantai yang sepi telah lebih dari cukup membuat saya merasa beruntung di hari itu.
Kembali lagi ke kolam biru, serupa danau, selanjutnya saya menyebutnya Danau Milkshake karna warna biru turquoise airnya benar-benar mirip Milkshake. Jangan tanya soal keindahan, kalau tidak indah bagaimana mungkin sebuah danau bisa begitu menyita perhatian kami, membuat kami mendadak menepi tanpa rencana di tempat itu. Danau Milkshake bukan tempat wisata, kami tak sengaja menemukannya di perjalanan menuju pantai-pantai di Sungailiat. Tidak ada retribusi untuk masuk. Danau Milkshake adalah eks tambang timah illegal, yang entah dulu berapa kepala yang menjadi korban proyek penambangan timbah yang jauh dari kata aman. Ada satu hal lagi yang saya garis bawahi: tidak semua yang terlihat indah sekarang lahir dari proses yang indah pula. Bagi saya, danau Milkshake adalah tempat paling berkesan dalam perjalanan Palembang-Bangka kali ini.
[caption id="attachment_176" align="aligncenter" width="300"] sesi pemotretan di Danau Milkshake[/caption]
Selanjutnya kami menyempatkan mampir ke Klenteng Marina Bay, kelenteng yang seolah-olah letaknya berada di tebing pantai Marina Bay. Lagi-lagi saya gagal mencari tau tentang sejarah klenteng megah itu. Rasanya unik sekali ada bangunan semegah itu di tempat antah berantah yang jauh dari peradaban. Pantai-pantai di Sungailiat itu letaknya ujung sekali loh, pasti ada satu sejarah di balik pembangunan klenteng tersebut. Kami tidak sempat bermain-main di pantai Marina Bay, hanya melihat saja dari klenteng. Pantai terakhir kami di hari itu adalah pantai Parai, konon yang terindah di Sungailiat. Tak sampai satu jam dari Marina Bay. Dan apa yang saya temukan di pantai Parai? Resort-resort berjajar tak jauh dari bibir pantai seolah-olah ingin menyaingi kemegahan Parai, ada restoran seafood yang langsung menghadap bibir pantai. Parai begitu hidup dengan keceriaan anak-anak, dengan keramaian pengunjung. Batu-batu besar dipinggir pantai, dermaga yang belum selesai dibangun, beberapa perahu kayu yang bersandar di pohon kelapa dekat pantai, suguhan pemandangan yang mungkin mirip-mirip dengan pantai tempat syuting laskar pelangi.
Hanya saja Parai terlalu ramai untuk ukuran manusia yang selalu mencari keterasingan seperti saya, hahahha. Cukup lama kami juga menikmati Parai. Selepas magrib kami kembali menuju Muntok, dengan rute berbeda dari keberangkatan. Lalu enyempatkan mampir ke rumah Ka Nandya, ibu muda yang baru aja punya dedek bayi. Malam itu terakhir di P. Bangka. Benar-benar hari yang terlalu singkat!
Esoknya kami pagi-pagi sekali kami sudah ada kembali di Tanjung Kalian. Anin sempat nangis saat kami saat kami pamit pulang dari rumahnya menuju Tanjung Kalian, anak kecil memang selalu perasa.
Sulit rasanya mengucapakan selamat tinggal pada Bangka, tapi hidup harus terus berjalan, kami harus pulang. Menuju Palembang kami lagi-lagi melewati rute yang berbeda. Kali ini dari Tanjung Kalian menuju pelabuhan Bombaru, Palembang. Dari selat Bangka yang biru, menyempit memasuki sungai Musi yang kecoklatan. Kapal cepat yang kami tumpangi mengurangi kecepatannya ketika sampai pada sungai Musi. Lengkap sudah, lintas darat, lintas selat, lintas rel keretam dan lintas sungai! Satu yang gak bisa saya lupa saat mengarungi Musi, banyak sekali perahu-perahu kecil yang melintas di Musi. Dan kalian tau siapa penumpangnya dan siapa yang mendayung? Anak-anak kecil! Astaga, apa mereka tau berapa dalam sungai Musi? Saya jamin mereka pandai berenang, tapi menyebrangi sungai terpanjang di Sumatera tanpa orang dewasa adalah hal ajaib! Rasa takut anak-anak itu seperti sudah dilarungkan jauh-jauh di sungai Musi. Mungkin sudah jadi hukum alam, siapa yang lahir dan hidup di pinggiran sungai akan menjadi pendayung dan perenang ulung. Manusia selalu menyesuaikan diri dengan alam tempat hidupnya. Dan alam selalu memberikan toleransi. Menyebrangi sungai Musi adalah pengalaman unik terakhir saya dalam perjalanan itu, perjalanan pulang dari Palembang ke Jakarta kembali tidak berbeda sengan keberangkatan kami. Naik kereta dari st. Kertapati menuju st. Tanjung Karang, lalu menyebrang selat dari Bakauheni ke Merak.
Bagi saya, perjalanan bukan soal kemana bersama siapa. Perjalanan adalah entitas kemandirian tersendiri, yang bisa saja lepas dari tujuan dan orang-orang yang membersamai. Saya hanya perlu untuk melalukukan perjalanan, entah kemana dan bersama siapa. Saya hanya perlu mengecup rasa keterasingan, hanya perlu menemui kesan-kesan baru, dan kadang tak terlalu di pengaruhi oleh apapun. Pemaknaan dalam perjalanan lahir dari kejelian hati kita sendiri. Jadi, kapan kita kemana lagi?
(NB: Kalau butuh rincian detail mengenai manajemen perjalanan saya ini seperti rincian waktu, ongkos, dan armada silahkan pm saya, uang yang saya habiskan dalam perjalanan ini sekitar 700ribuan)