Barangkali saya harus belajar jatuh cinta dengan kesepian. -SHG
Banyak sudah tulisan yang mengulas tentang
sosok Soe Hok Gie, dari sisi pergerakan, pemikiran, bahkan sajak-sajaknya. Jika
memandang Gie sebagai seorang aktivis, kritikus, kolumnis, arsitek
gerakan-gerakan masif, sejarawan, moralis, dan dosen, kita akan melihat sosok
manusia yang men’dewa’. Padahal Gie juga anak manusia yang penuh dengan tragedi
cinta. Saya mencoba menuliskan Gie sebagai sosok yang lebih mem’bumi’ lewat
paparan mengenai kisah cintanya. Gie mati muda, dan sampai kematiannya dalam
istilah sekarang Gie bisa disebut “jomblo”, namun Gie bukanlah pribadi yang
miskin cinta. Mengingat tak banyak buku-buku yang menceritakan khusus tentang
kehidupan cinta Gie, saya Sedikit sekali mengambil referensi, hanya dua
buku yang saya jadikan pegangan dalam tulisan ini, yaitu Catatan Seorang
Demonstran yang merupakan catatan harian Gie, dan buku “Sekali Lagi, Buku,
Pesta, dan Cinta di alam bangsanya” yang merupakan kumpulan tulisan dari
saksi-saksi hidup Gie.
Amor Platonicus
“Cinta murni lebih baik masuk keranjang
sampah. Tak ada. Sesuatu yang dihayal-hayalkan." Entah bisikan mana yang membuat anak
usia 14 tahun begitu sinis menulis tentang cinta. Meski dalam
kurun 2 tahun kemudian, Gie menjadi ragu soal kesimpulan prematurnya itu. Ia
sedikit menurunkan kadar kesinisannya soal cinta. Ia menulis dalam
catatan hariannya: "Bagiku cinta bukan perkawinan. Kurang
lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta = nafsu. Tapi aku sangsi akan
kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu akan cemar
bila kawin. Aku pun telah merasa jatuh simpati dengan orang-orang tertentu, dan
aku yakin itu bukan nafsu.”
Kalimat-kalimat tadi secara sederhana cukup
menjadi bukti bahwa Gie remaja adalah penganut "amor platonicus".
Cinta platonik. Plato memandang cinta sebagai sesuatu yang amat ideal, murni,
sempurna, sangat afektif, tidak dikotori oleh pamrih, hasrat seksual, bebas
dari kemelekatan untuk memiliki, tanpa pretensi. Cinta platonik lebih dekat
dengan perasaan saling mengasihi tanpa tendensi.
Tragedi Cinta
“Is it a crime to being an idealist?”
Sebuah pertanyaan frustasi Gie pada dirinya
sendiri, menandakan dimulainya tragedi cinta Gie dengan Maria, yang saya
berkesimpulan ia adalah pacar terakhir Gie. Setelah setahun sebelumnya, menjalin
hubungan dengan Rina, yang terbentur oleh perbedaan “bangsa dan agama”. Yang
dimaksud “bangsa” tentu saja suku. Rina disebutkan memiliki keluarga yang broken home, belum lagi ia terintervensi
oleh tuntutan dari keluarga dekatnya yang kebanyakan memilih untuk “tidak
menikah”. Tragedi dengan sebab yang tidak jauh berbeda terulang
lagi saat ia menjalin hubungan dengan Maria. Hanya lebih pelik, karna
perasaan-perasaan mereka sudah kepalang dalam.
“Soe baik tapi tidak untuk
keluarga kita.” Kata orang
tua Maria. Bukan lagi soal bangsa dan agama, tapi penolakan timbul karna Gie
adalah seorang idealis. Mereka menyukai Gie, karna ia berani dan
berkepribadian, tapi disaat yang sama mereka pun ‘menolak’ Gie menjadi bagian
dari mereka. Gie menganalogikannya nasibnya dengan nasib prajurit-prajurit yang
juga di prasangkai oleh banyak orang. Gie menulis, “mereka dipuja-puja,
diciumi di jalan sebagai tentara pembebas. Tapi kalau ada putrinya yang ingin
kawin dengan tentara, nanti dahulu. Perasaan inilah yang ada pada saya
sekarang. Soal ini telah lama saya sadari. Tetapi pada waktu itu datang sebagai
kenyataan, rasanya pedih sekali.”
Rasanya pedih sekali.
Pada fase tersebut tentu saja Gie sudah
melunturkan paham amor planoticus-nya.
Ia sudah punya tekad untuk serius terhadap wanitanya, membawa hubungan mereka
ke pernikahan. Namun ternyata “pedih sekali” lah perasaan yang harus ditelan
Gie, setelah dua kali penolakan oleh pihak keluarga wanita-wanitanya.
Gie menawarkan dua pilihan kepada Maria, yang
pertama adalah “bertarung ke dalam”, Maria harus tegas dalam memperjuangkan
hubungan mereka di keluarganya. Pilihan kedua adalah, jika Maria tidak terlalu
cukup berani memilih pilihan pertama, maka selesailah mereka. Bukan dalam waktu yang terbilang singkat
“kekacauan” hubungan mereka mereda. Mereka tetap berada dalam lingkaran
pergaulan yang sama. Sebelum sampai benar-benar merelakan Maria, Gie beberapa
kali bicara dengan Maria, tentang kemungkinan-kemungkinan hubungan mereka.
Namun sulit, Maria tetap dengan keciutannya dalam melawan keluarga sendiri, Gie
tetap pada jalannya menjadi seorang idealis.
“Sayang sekali kami tak bisa terus,
karna soal-soal perbedaan gaya hidup. Semua unsur-unsur bertemu, tetapi dia
tidak bisa mengikuti saya.”
Lebih sulit bagi Gie untuk melupakan
hubungannya pada Maria, ketimbang pada Rina dulu. Hubungan dengan Rina dimulai
dengan hubungan persahabatan yang kental. Meski Gie sadar ketika menjalin
hubungan dengan Maria, Rina masih menyayanginya. Guilty feeling
nya terhadap Rina sering muncul semasa ia menjalin hubungan dengan Maria. Namun
keadaan berbalik, ketika Gie selesai dari Maria, justru Maria yang mencemburui
Rina. Lepas putus dari Rina dan Maria, Gie memang konsisten menjadi teman dekat
Rina, tapi ini sebatas hubungan persahabatan. Rina masih mencintai Gie, dan
merasa paling memahami Gie mengingat perkenalan mereka yang lebih lama dan
lebih lekat. Namun Gie masih menyimpan Maria sebagai bagian dari hidupnya,
seperti yang ia tulis:
“Saya akan selalu terbuka oleh dia. Karna she
was part of my life.”
Maria sempat menyarankan Gie untuk kembali
kepada Rina. Jelas ini tidak akan menjadi keputusan Gie. Seberapa pun sayangnya
Rina terhadap Gie, namun benturan “kesukuuan dan agama” menjadi harga mati yang
tidak bisa ditawar lagi. Yang kedua dan yang lebih krusial adalah, posisi
Maria dalam hidup Gie yang tidak tergantikan oleh siapapun.
“Menipu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Walaupun saya tidak menahan diri untuk tidak khusus berbicara pada Maria, hati
saya tetap merasa gelisah.”
Wanita-wanita Lain
Gie banyak bercerita dengan Yanti dan Ani
mengenai “kekacauan-kekacauannya” dengan Maria dan Rina. Sebuah
dialog antara Yanti dan Gie menggambarkan betapa kuatnya Gie dalam memilih
“jalannya” meski harus kehilangan cinta.
Yanti: “Kamu cuma cinta diri kamu
dan karier kamu.”
Gie: “Saya tak
punya karier.”
Yanti: “Kamu
seorang humanis yang nyerempet-nyerempet bahaya dan setiap waktu bisa dipenjara”
Gie: “Saya
menolak mengubah diri saya karna pacar. Apakah saya harus melupakan semua karna
cinta?”
Setiap manusia memiliki kecenderungan.
Kecenderungan Gie terhadap aktifitas ‘perjuangannya’ lebih besar daripada kecenderungannya
terhadap cinta. Jika orang dan keluarga wanitanya tidak menerima ia sebagai
“seorang humanis yang nyerempet-nyerempet bahaya”, maka selesailah. Meski
berkali-kali, penolakan-penolakan tersebut harus menjadi jalan sunyi yang ia
pilih.
Kita memang harus berkembang ke arah yang
lebih baik. Hidup ini dinamis. Namun ketika perubahan-perubahan yang dituntut
orang-orang justru mematikan jati diri kita sebenarnya, kita perlu berpikir
ulang soal perubahan itu. Jika berubah berarti menjadi orang baru yang sama
sekali lain, yang jauh meleset dari prinsip-prinsip hidup yang menahun kita
jaga, saya pun akan memilih untuk tetap menjadi diri sendiri. Meski ditolak.
Buat apa diterima, tetapi kita harus rela menjadi orang lain?
Suatu kali Ani pernah bertanya “What is love?”, Gie
menjawab “Unsur-unsurnya
antara lain adalah persahabatan yang murni dan baik, kekaguman, sedikit kultus
dan akhirnya perasaan amat terlindungi.”
Pernah disebut-sebut nama lain, yaitu Rachma.
Teman perjuangan Gie juga yang terganggu kejiwaannya karna kondisi keluarga yang
broken home. Gie menaruh simpati yang besar terhadap Rachma, sering Gie
menjenguk Rachma di rumah sakit, baik bersama teman-teman lain maupun ia
sendiri. Disaat kondisi Rachma semakin membaik, dan hendak dipulangkan kembali
ke rumahnya, Rachma mengakui bahwa pada mulanya ia kagum pada Gie (yang disebut
sebagai hero worship), namun Rachma sadar, hal tersebut tidak dapat ia
lanjutkan.
Cinta “Permen Karet”
Setelah lulus menjadi sarjana Jurusan
Sejarah, FSUI, Gie masih mengabdi di lingkungan kampus sebagai asisten dosen.
Kala itu Maria sudah beberapa kali memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Gie
mengenal Sunarti, yang tak lain adalah mahasiswi didiknya. Gadis rock n roll nan
humoris ini mencuri perhatiannya. Mereka dipertemukan dalam kondisi yang
sama-sama broken
heart. Dalam kesamaan keadaan emosional itulah yang membuat hubungan
Sunarti dan Gie cepat erat. Saat bertemu dengan Sunarti, Gie berusia 26 tahun
dan Sunarti berusia 19 tahun.
Tidak ada penjelasan secara gamblang dari
catatan hariannya mengenai kejelasan hubungan Gie dan Sunarti. Hubungan yang
awalnya adalah hubungan mahasiswi dengan dosen, semakin intens berlanjut pada
hubungan persahabatan yang akrab. Rasa simpati Gie terhadap Sunarti, mudah
sekali terbaca dalam beberapa catatan hariannya, misalnya:
“Ngobrol dengan Sunarti enak juga. Kita
keluyuran enam jam dari FS ke rumahnya lalu ke Clara, Maria, Rachma dan pulang.
Tertawa-tawa dan ia “sangat lucu”......Mungkin Sunarti perlu perhatian yang ia
tak dapati dari keluarganya yang kacau balau dan juga dari Badil yang
diharap-harapkannya.”
Pada akhirnya hubungan mereka menjelma cinta
“permen karet”, sebagaimana yang ditulis Sunarti (nama samaran dari Kartini
Sjahrir), 40 tahun kemudian. Sunarti menulis 10 surat terbuka untuk Gie, dalam
surat itu dengan blak-blakan ia sampaikan tentang hubungan pribadinya dengan
Gie. Diawali dengan rasa simpati Sunarti terhadap Gie yang ‘kacau’ karena Maria.
“Saya sedih melihat betapa patah hatinya kamu
Gie, karena itu dengan senang hati saya bersedia menjadi “permen karet” kamu.
Dengerin kamu curhat sepanjang jalan. Saya menyayangi kamu.”
Dalam surat terbuka lainnya, Sunarti menulis:
“Bersama kamu, saya merasa hidup ini lucu dan
rileks. Kalau kamu tanya apakah saya keberatan punya pacar kayak kamu,
jawabannya adalah “tidak”. Juga saya tidak keberatan kita pura-pura pacaran,
kan seru juga. Saya selalu merasa ya Gie, kamu itu seperti jangkar hidup saya.
Rasanya tenang, meskipun kamu sering “kacau” kalau lagi ngomongin ‘dia’
(Maria-pen), yang kamu taksir.”
Sunarti berasal dari dunia yang amat berbeda
dengan Gie, belum lagi sifat-sifat mereka yang juga bertabrakan. Tapi
diungkapkan Sunarti, kecocokan mereka muncul karna perbedaan-perbedaan itu.
Sunarti mahasiswi yang sudah 2 kali tidak naik tingkat, mengaku pemalas, dan
tidak cemerlang dalam akademik, apalagi soal gerakan-gerakan organisasi kampus,
ia hanya ‘mengekori’ Gie, tidak benar-benar serius memahami soal itu.
Suatu kali Gie memang pernah menyimpulkan bahwa,
“Pacaran adalah pengalaman menyegarkan walaupun resiko emosionalnya besar.”
Ditambah dengan kepahitan-kepahitan yang masih lekat padanya soal Maria, saya
pikir itu yang membuat Gie bertahan dengan Sunarti hanya sampai batas ‘cinta
permen karet.’ Sunarti, gadis keturunan Batak yang berasal dari lingkup
keluarga konservatif, sebenarnya ia dapat lebih berani dalam melawan
keluarganya jika tidak menyetujui hubungannya dengan Gie karna alasan
kesukuaan. Tapi kali ini Gie lah yang tidak cukup berani untuk mengambil
kembali ‘resiko emosional’. Keadaan yang begitu bertolak belakang ketika ia
masih menjalin hubungan dengan Maria. Pada beberapa waktu, Sunarti sempat
pulang ke Rumbai, namun hubungan mereka tetap berlanjut lewat surat-menyurat.
Sayangnya belum ada buku yang berisi kumpulan surat-menyurat Gie dengan siapa
pun.
Sampai suatu kali, pada bulan-bulan yang
mendekati kematian Gie, Sunarti sempat merasa lelah soal hubungan ‘permen
karet’ itu, seperti yang ia tulis dalam surat terbukanya:
“Tetapi, adilkah kamu kepada saya Gie? Selalu
kamu katakan bahwa diantara kita tidak ada apa-apa, seraya kamu genggam tanganku
erat-erat atau kamu peluk saya. Kamu katakan bahwa hubungan kita hanyalah
sebatas “permen karet” yang dikunyah-kunyah kemudian dibuang. Atau kita berdua,
seperti berulang kali kamu bilang, hanyalah manusia-manusia yang kesepian yang
butuh ‘santapan rohani’. Bahasa badanmu dan tatapan matamu bukanlah lagi
gambaran seseorang yang sekadar mencari “pemen karet”. Di mata itulah saya
menemukan pelabuhan cinta. Hanya saya dan kamu, betapa pun kamu mencoba
mengingkari, yang merasakan getaran itu. Sore itu di daerah Matraman, ketika
kamu mengantar saya membeli roti, akhirnya kamu sampaikan, betapa kamu
menyayangi saya. Meskipun hujan turun rintik-rintik, badan dan rambut saya
setengah basah, perasaan saya hangat dan senang sekali.”
Hubungan jenis ‘permen karet’ mungkin bukan
jenis hubungan seutuhnya mutualisme. Rasanya apa yang disampaikan Sunarti tidak
berlebihan dan bukan bentuk manifestasi GR
semata. Karena pada hari-hari terakhir hidupnya, Gie sempat menuliskan
bahwa ia ingin membuat acara intim dengan Sunarti. Sebelum pergi ke Semeru, Gie
menemui Sunarti untuk mengajaknya ikut ke Semeru, namun orang tua Sunarti tidak
mengijinkan. Dan itulah yang menjadi pertemuan terakhir mereka. Gie meninggal
satu hari sebelum ulang tahunnya ke-27 tahun.
Betapa terpukulnya Sunarti atas kepergian Gie, dunia seperti runtuh, ia kehilangan laki-laki yang disebut-sebut sebagai salah satu “arsitek” hidupnya itu. Beberapa tahun kemudian, Sunarti menikah dengan Sjahrir, teman perjuangan Gie. Di awal sekali, sebelum menjalani hubungan “permen karet” dengan Sunarti, Gie yang memang menjodohkan Sjahrir dengan Sunarti. Sunarti tumbuh menjadi tokoh politik di negeri ini, dunia yang dulu amat asing baginya. Namun semenjak mengenal Gie, ia mengaku lebih literer, juga soal kuliahnya, karena Gie sering mententir (mengajari-pen) ia dan teman-teman lain yang ‘sulit lulus’. Berita kelulusan Sunarti menjadi sarjana saja sudah cukup menghebohkan kampus, apalagi ternyata beberapa tahun kemudian Sunarti diterima kuliah di Cornell University, kampus idaman Gie. Ia melanjutkan program studi sampai mendapat gelar Doktoral, dan kembali ke UI sebagai dosen. Dosen yang juga begitu luwes kepada mahasiswa-mahasiswanya, meniru gaya Gie semasa menjadi asisten dosen dulu. Sunarti menutup surat terbukanya dengan ucapan terima kasih kepada Gie.
Betapa terpukulnya Sunarti atas kepergian Gie, dunia seperti runtuh, ia kehilangan laki-laki yang disebut-sebut sebagai salah satu “arsitek” hidupnya itu. Beberapa tahun kemudian, Sunarti menikah dengan Sjahrir, teman perjuangan Gie. Di awal sekali, sebelum menjalani hubungan “permen karet” dengan Sunarti, Gie yang memang menjodohkan Sjahrir dengan Sunarti. Sunarti tumbuh menjadi tokoh politik di negeri ini, dunia yang dulu amat asing baginya. Namun semenjak mengenal Gie, ia mengaku lebih literer, juga soal kuliahnya, karena Gie sering mententir (mengajari-pen) ia dan teman-teman lain yang ‘sulit lulus’. Berita kelulusan Sunarti menjadi sarjana saja sudah cukup menghebohkan kampus, apalagi ternyata beberapa tahun kemudian Sunarti diterima kuliah di Cornell University, kampus idaman Gie. Ia melanjutkan program studi sampai mendapat gelar Doktoral, dan kembali ke UI sebagai dosen. Dosen yang juga begitu luwes kepada mahasiswa-mahasiswanya, meniru gaya Gie semasa menjadi asisten dosen dulu. Sunarti menutup surat terbukanya dengan ucapan terima kasih kepada Gie.
“Meskipun kita berada di dunia yang berbeda,
terimalah ucapkan terima kasih saya Hok-gie manis, karena kamu itulah yang
menabur benih-benih yang baik bagi saya, untuk menjadi manusia bebas seutuhnya.
Ciil (Sjahrir-pen) melanjutkan etappe ke-2 dan telah mengembangkannya dengan
indah dan penuh cinta.”
Hubungan Gie dan Sunarti memang sebatas cinta
“permen karet”, namun permen karet yang ditinggalkan Gie terhadap Sunarti
rupanya adalah permen karet abadi, yang manisnya tak habis-habis sampai ia dikenang
sebagai etappe pertama dalam hidup Sunarti. Cinta “permen karet” yang dipilih
Gie mungkin saja merupakan praktek dari bentuk cinta platonik yang dulu sempat
ia yakini, mengasihi tanpa tendensi.
Mengulik tentang cinta Gie dari mulai remaja
sampai akhir hayatnya, dari kepercayaannya terhadap cinta platonik, sampai
keberanianya mengambil resiko emosional bersama Rina, lalu Maria, lalu beberapa
wanita lain yang sebenarnya menaruh simpati pada Gie namun memilih ‘mundur’.
Dan penolakan-penolakan yang selalu terulang dari keluarga wanitanya, hingga
membuatnya ‘jera’ untuk mengambil ‘resiko emosional’ lagi dengan Sunarti, gadis
terakhir di hidupnya, yang hanya ia jadikan sebagai “permen karet”, saya
simpulkan bahwa cinta Gie dimulai dengan cinta platonik lalu kembali lagi pada
cinta platonik.
Meski banyak klasifikasi mengenai jenis-jenis
jomblo, namun belum ada baku soal itu. Jika sampai akhir hayatnya Gie bisa
disebut jomblo, maka ijinkan saya menyematkan status pada Gie sebagai Jomblo
Intelektual. Saya membayangkan jika Gie hidup di masa sekarang, mungkin posisi
sosial jomblo tidak akan termarjinalkan. Jika menjadi jomblo
adalah sebuah pilihan, maka sepertinya kita perlu mengkerucutkan lagi pilihan
kejombloan itu, jenis jomblo yang seperti apakah?
Dan adakah hidup yang lebih baik ketimbang kehadiran kita mampu membuat lingkungan dan orang-orang terdekat kita menjadi berkembang lebih baik? –meskipun jomblo.