Mochtar Lubis adalah sastrawan yang aktif berkarya pada tahun 50an. Karya-karyanya diakui di dalam maupun di luar negeri. Mochtar Lubis juga dijuluki sebagai wartawan jihad karena tulisan-tulisannya yang lantang dalam membela HAM. Ia sempat aktif dalam organisasi pers Asia maupun Internasional. Atas pencapaiannya, Mochtar Lubis menjadi orang pertama yang mendapat penghargaan Chairil Anwar Award pada tahun 1993. Ia memimpin harian Indonesia Raya, yang sering dibredel pada zaman Orla maupun Orba.
Sembilan tahun penjara tanpa diadili menjadi nilai tukar yang harus ditempuh Mochtar Lubis atas kesetiaannya untuk tidak berkompromi terhadap “aturan” pers pemerintah. Nama Mochtar Lubis sering disebut-sebut oleh Soe Hok Gie dalam catatan hariannya, Gie menjuluki Mocthar sebagai “pelacur intelektual”. Belakangan saya menyimpulkan sikap Gie itu barangkali disebabkan kekecewaanya terhadap sikap Mochtar yang tidak menyetujui usul ia dan kakaknya (Arief Budiman) untuk mendesak amnesti terhadap tahanan G30SPKI kelas C.
“Jalan Tak Ada Ujung” adalah salah satu karyanya yang terbit pada tahun 1952. Enam belas tahun kemudian, Roman tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa inggris menjadi A Road With No End. Apreasiasi terhadap roman tersebut mengilhami M.S. Hutagalung pada tahun 1963 untuk membuat kajian secara khusus dalam buku “Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis”.
Roman ini menjadi salah satu aset sastra Indonesia yang banyak dijadikan referensi pembelajaran di sekolah menengah. Jika mengetik “ulasan buku Jalan Tak Ada Ujung” di mesin pencari, dapat dipastikan kebanyakan hasil pencarian adalah seragam. Ulasan-ulasan yang beredar di berbagai blog lainnya memiliki garis besar bahwa roman tersebut beramanat untuk hidup sederhana, berjuang demi kebenaran, dan jangan tergesa-gesa. Jika saya membaca roman itu dengan tujuan menggugurkan salah satu tugas sekolah, mungkin saya pun akan menemukan makna yang sama dengan kebanyakan itu. Saya tergerak untuk membaca karya Mochtar Lubis tanpa tendensi apapun kecuali melunasi rasa penasaran.
Pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahu 1952. Pada tahun 1992 pertama kali dicetak oleh Yayasan Obor dan buku yang saya baca merupakan cetakan ketujuhnya (2010). Tebal buku ini 167 halaman dengan cover yang masih sama seperti cetakan Balai Pustaka.
Seperti khasnya roman dalam karya sastra lama, buku ini pun terbilang tipis. Mochtar pandai bercerita dengan lugas, tanpa membawa adegan-adegan pemanis yang hanya menjadi tambahan saja. Bahasa yang digunakan pun sederhana, tidak mendewa seperti bahasa pujangga, tidak banyak majas yang membuat kita berpikir panjang dulu untuk bisa paham. Meski tanpa diksi yang ekslusif, sungguh tidak mengurangi kedalaman kontemplasi pemikiran penulisnya.
Diceritakan Guru Isa, adalah seorang yang bertahun-tahun mengabdi sebagai guru dengan berbagai kepayahan hidup. Mengambil latar zaman revolusi, Mochtar sukses mendeskripsikan profesi guru pada masa itu adalah profesi kelas bawah, yang minim perhatian. Gaji yang sering terlambat dan harga-harga yang melambung membuat kebutuhan untuk “sekedar” hidup saja sulit dipenuhi. Fatimah, istri Guru Isa, yang sering melapor bahwa “lumbung dapur” mereka yang sudah habis. Melihat Fatimah sudah kebingungan kemana lagi harus mengutang beras, dan tanggung jawab yang mesti ia penuhi juga kepada Salim, anak adopsinya, Guru Isa nekat mencuri buku sekolah utuk dijual kembali.
Begitulah yang sering ia ulangi akibat terdesak fakta bahwa pihak sekolah belum ada tanda-tanda baik untuk membayar gajinya. Guru Isa hidup penuh ketakutan-ketakutan, kekhawatiran-kekhawatiran, dan mimpi-mimpi buruk yang selalu bergelayut di kepalanya. Rumah tangganya dengan Fatimah pun sudah hambar sejak dulu. Suatu kali Guru Isa menemukan bukti bahwa Hazil, sahabatnya, rekan yang megajaknya bergabung dalam sebuah organisasi revolusioner bawah tanah, yang sering berlatih biola di rumahnya, selingkuh dengan Fatimah. Guru Isa membungkam diri, seolah-olah tidak mengetahui, ia terlalu pengecut untuk menanyakan kecurigaannya itu. Ia terlalu takut.
Fatimah memang berselingkuh dengan Hazil, dan merasa bahwa Guru Isa tidak mengetahuinya. Ketakutan-ketakutan Guru Isa, kekhawatiran-kekhawatirannya, mimpi-mimpi buruknya, semakin kuat menguasainya. Membelenggu kebebasan pikirannya. Semua kegelisahan-kegelisahan hanya yang bersarang di kepalanya, menyerang ia kapan pun. Membuatnya kehilangan kepercayaan kepada siapapun, kehidupannya seperti mimpi buruk yang kian menjadi nyata.
Diluar makna penggambaran sosok Guru Isa dengan kesederhanaannya, Hazil dengan keberaniannya terhadap jalur perjuangan revolusi, dan diluar dari inti cerita, saya jatuh cinta pada keutuhan dan kekuatan Mochtar dalam mengemas jalur kontemplasi tentang makna kebebasan. Dari pengenalan cerita hingga akhir, dari hulu ke hilir, seolah menyediakan jalur bagi pembaca untuk mengail kepingan-kepingan pertanyaan tentang kebebasan dan keberanian hidup.
Ketika dua orang tokoh dalam roman ini sama-sama terpenjara secara fisik, keadaan yang kasat mata terlihat sama, namun justru menghadirkan refleksi yang berbeda. Seorang tokoh begitu merasa terpenjara juga secara jiwa, namun tokoh lain menganggap keterpenjaraan fisiknya adalah proklamasi bagi kemerdekaan jiwanya.
Roman ini membuat saya tak tahan untuk bilang, “anjrrrriiiiiitt!”
Kerapihan penulisnya dalam menyusun kejutan lewat penjungkirbalikkan perspektif si tokoh utama di akhir cerita, sukses menginduksi alam bawah sadar saya terhadap perspektif itu. “Jalan Tak Ada Ujung” dapat memperkaya khazanah manusia-manusia yang masih tertarik untuk mempertanyakan arti kebebasan.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kebebasan? Hidup yang secara fisik terpenuhi segalanya, bahkan berlebih, namun secara batin terpenjara karena ketakutan yang menjadi hantu dalam jiwa? Atau.. hidup yang secara fisik begitu terbatas, namun dalam keterbatasan itu justru pikiran kita murni mengecup kebebesan? Dan mungkinkah kita bisa bebas secara fisik dan jiwa?
Betapa kebebasan adalah definisi personal. Meski kita dalam keadaan kasat mata yang sama dengan orang lain, namun proklamasi soal kebebasan diri adalah keintiman masing-masing setiap jiwa.
Mochtar Lubis, terima kasih untuk roman yang menyadarkan saya soal keberanian hidup. Soal ketakutan-ketakutan yang lumrah dipunyai semua manusia, namun hanya yang berani belajar hiduplah yang memiliki keinsyafan untuk mengalahkan ketakutannya.
Sekali lagi, belajar hidup!
Depok, 17 Maret 2016
-diazsetia, hari kedua merumahkan diri karena radang
(baca juga artikel saya tentang pensil dan ide: Ide dan Kreativitas dalam Lintasan Zaman)