Bagi penggemar novel-novel karya Bang Darwis a.k.a Tere-Liye, tokoh Karang dalam novel Moga Bunda Disayang Allah, barangkali dirasa terlalu utopis, fiktif level dewa. Pun saya menggaggap demikian, sebelum negara api menyerang. Dikisahkan, Karang adalah pemuda yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak, protagonis yang lekat sekali dengan anak-anak, memiliki hubungan emosional dengan anak-anak (bukan, bukan fedofil maksud saya), buah dari ketulusannya itu adalah namanya menjadi tersohor sebagai "si pembuat kejaiban bagi anak-anak". Ruaarrrr biyasyaaaaaa.
Karang, membangun sebuah rumah baca di sebuah wilayah tidak disebutkan oleh penulisnya. Menelan hari-harinya bersama anak-anak. Potret kehidupan yang begitu harmonis. Pada babak pengenalan cerita, Karang mengingatkan saya pada sosok nyata (atau mungkin ilusi? yang beberapa waktu lalu saya temui. Ah, kebalik, yaz. Sosok yang baru saya temui itu yang mengingatkan saya pada Karang. Dan selanjutnya tulisan ini anggap saja adalah sebuah penerawangan, opini berbumbu apresiasi, yang tentu saja sarat akan kentalnya ilmu ke-(sok)-tahu-an.
Adalah Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (FIKRI), yang pada paragraf-paragraf selanjutnya saya sebut "Kak Fikri".
Berita tentang penggagas, pemilik, sekaligus pengelola sebuah taman baca di pelosok Cirebon, sampai juga ditelinga saya, ralat, sampai juga di hp saya lewat pesan digital dari Kak Anaz.
"Eh, yang punya taman baca yang akan kita singgahi di Cirebon nanti, metal loh orangnya" beberapa minggu sebelum keberangkatan ke Cirebon. Sedikit saya bahas mengenai keberangkatan kami ke Cirebon, 28-29 Maret silam. Arah angin yang dipengaruhi takdirlah yang membuat kami, 19 kepala, rombongan antah-berantah sampai di sebuah taman baca yang.. ajaib!
Beberapa detik kemudian, Kak Anaz mengirimkan poto (mirip manusia) yang seluruh wajahnya tertutup rambut bergelombang, wajah milik: Kak Fikri!
Eeee bujeeettt, ternyata ada ya katanya konon (karna konon katanya sudah terlalu mainstream), seorang metalis yang hatinya tergerak untuk membuat taman baca? (Impresi awal saya terhadap Kak Fikri ini: ia metalis - orang yang metal, rock n roll)
Mengapa saya agak kaget?
Bagi saya, taman baca adalah sebuah ruang yang hidup. Tempat belajar non formal yang mengemban misi mulia, jauh sekali dari perhitungan laba. Rumah baca adalah media dalam membangun budaya membaca, menulis, termasuk pembentukan akhlaktul karimah, penanaman nilai-nilai moral, karakter, ketrampilan, sekaligus jawaban sebagai pencarian jati diri (okeh, ini lebay beeuutt). Intinya rumah baca adalah madrasah keempat, setelah rumah, sekolah, dan masjid (bagi yang aktif mengaji). Merencanakan pembuatan taman baca sampai pada realisasinya bagi saya adalah keputusan yang (kedengarannya) keren.
Imaji macam apa yang ada di lubuk, hati, sanubari kamu mengenai seseorang yang membangun taman baca? Mari lihat ceklis dibawah ini:
√ Cinta anak-anak
√ Berhati Lembut
√ Tutur kata yang indah
√ Klimis
√ Rapih
√ Prestatif di bidang akademik formal
√ Pemenang olimpiade sains (udah menang duluan, walau belum ikut lomba)
√ Aktivis sosial
√ Keibuan/Kebapakkan
Baiklah, naif sekali jika saya memukul rata bahwa pemilik taman baca seharusnya macam begitu. Itu hanyalah steorotip yang terlanjur melekat default di kepala kita bukan?
Punya rambut yang menutupi wajah, jarang mandi, terkesan sinis, apatis, irit bicara, metal, rock n roll, berantakan (dalam hal ini termasuk juga soal hidup, iya, hidup yang berantakan hahaha), pun bisa saja menjadi penggagas, pemilik, sekaligus pengelola taman baca. Beranonim sekali dengan stereotip yang barusan saya identifikasi bukan?
Kak Fikri, yang entah suara malaikat mana yang mampir di telinganya hingga ia memutuskan membuat taman baca di belakang rumahnya, di desa Dompyong Wetan, Cirebon. Sedikit pengenalan mengenai taman baca yang sementara ini disebut "Halaman Belakang" bisa kamu baca disini.
Saya berbisik ke Kak Nopi, "Kak, liat deh, dia bikin sendiri rak bukunya, kreatif banget yak.. simple" saya menunjuk 2 buah rak buku yang tersusun dari rak sepatu plastik, dengan kayu-kayu bekas sebagai pembatasnya. Bukan apa-apa, saya ingat bagaimana persiapan membangunan rumah baca HOS Tjokroaminoto pada Februari lalu, bahkan untuk rak buku saja harus mengimpor seniman dari Cikini, dan itu pun dikerjakan berhari-hari (hasilnya memang kece dan sangat estetis sih). Ada sekitar 1000 buku disana, saya gak sungguhan menghitung. Buku-buku tersebut dari gaji pribadinya Kak Fikri (prokkprookprookk). Taman baca tersebut berkonsep saung terbuka, bukan di ruang tertutup, alasnya ubin, atapnya bambu dan jerami, pilar-pilarnya bambu.
"Rencananya kamu mau kasih nama apa taman baca ini, Kak?" saya memberanikan diri untuk bertanya. Percayalah, memang sangat dibutuhkan keberanian.
"Taman Bermain Waktu, itu dari judul lagu sih..."
Kalau kamu memaksakan khayalanmu dengan cara meleburkan fisik sosok Kak Fikri dengan Karang (a.k.a Fedi Nuril), niscaya kamu akan kesulitan sekali. Karna bukan kemiripan fisik yang saya maksud; tapi kemiripin dalam soal ketulusan mengayomi anak-anak (aih, yaz, sok tahu kali ngomongin ketulusan disini! Hahah). Tapi semoga opini saya soal ketulusan ini benar yak.
"Abang... Abang... Ayo belajar..." Dikisahkan, seringkali anak-anak gedor-gedor pintu kamar Kak Fikri untuk minta diajarin belajar. (sementara Kak Fikrinya masih pindah alam, alias tidur)
"Pulang... Pulang sana.." Betapa... Betapa sinisnya jawaban Kak Fikri.
Tapi lihat, betapa anak-anak tidak jera mengulang-ngulang scene itu lagi: gedor-gedor pintu, bangunin Kak Fikri, minta diajarin belajar (walau pada prakteknya lebih banyak main-main ya?). Dan betapa Kak Fikri mengulang kesinisan yang sama. Karna anak-anak tau, kalimat 'pengusiran' Kak Fikri itu tidak serius.
Saya percaya, hati anak-anak adalah cermin ajaib, tidak tembus terhadap bayangan yang manipulatif. Hati anak-anak adalah cermin ajaib, yang memantulkan isi jiwa-jiwa kita. Pemantulan sempurna. Kita yang saya maksud adalah, objeka sembarang, siapa saja yang berniat mendekati dan berinteraksi dengan mereka (anak-anak). Anak-anak selalu tau, siapa yang tulus dan siapa yang manipulatif.
Melihat betapa antusiasnya anak-anak terhadap Abang, saya percaya, hati anak-anak memantulkan jiwa Abang sebagai jiwa yang tulus. (Catatan: tidak pernah ada 'Kak Fikri' di Halaman Belakang, anak-anak mengenalnya dengan sebutan 'Abang'.)
Tantangan Kak Fikri dalam memaksimalkan fungsi rumah bacanya cukup unik. 'Memaksimalkan fungsi' yang saya maksud bukan sekedar arus keramaian saja, karna kalau parameternya hanya ramai saja, jelas sekali taman baca yang baru sebulan ditetaskan ini sudah terbilang sukses. Karna, selalu ramai dengan anak-anak! Sekitar 20-30 pasang sendal mini, warna-warni berserak acak di pelataran tangga rumah baca setiap harinya. Anak-anak setingkat SD sampai SMP yang berasal dari sekitaran rumah Kak Fikri. Minat baca anak-anak itu masih cukup. Cukup rendah. Bagaimana mungkin bisa berminat membaca, jika membaca saja aku sulit? (Mirip iklan apa gitu). Sampai kelas 4 SD pun masih ada yang kesulitan membaca, kelas 2 SD belum bisa membaca. Ruaarrr biyasyaaaa. Jadi kalau anak-anak berkumpul di taman baca, Kak Fikri menjelma guru SD amatiran, yang memiliki beban moral untuk membimbing mereka calistung. Baca, tulis, hitung! Pun orang tua anak-anak itu masuk dalam golongan berada, mereka tidak kekurangan harta, (mungkin) kekurangan kesadaran pentingnya pendidikan anak-anak mereka. Baiklah daripada menyalahkan, salah guru atau salah orang tua, lebih baik mengekor apa yang dilakukan 'Si pembuat keajaiban bagi anak-anak'. A.k.a Karang versi non fiksi. A.k.a Kak Fikri. A.k.a Abang.
Selama hidup, saya sering sekali bertemu dan berinteraksi langsung dengan mereka yang bisa dicap sebagai 'Si pembuat keajaiban bagi anak'. Aktivis-aktivis pendidikan yang begitu memperjuangkan hajat hidup anak-anak, sampai benar-benar membuat keajaiban bagi anak-anak! Nyata, versi non-fiksi. Tapi meraka kebanyakan adalah orang-orang tua. Bapak-bapak, ibu-ibu, om-om. Baru kali ini saya bertemu dengan sosok 'Si pembuat keajaiban bagi anak-anak' versi pemuda. Walau beberapa tahun lagi Kak Fikri harus rela melepas titel 'muda'nya jika definisi muda adalah usia dibawah 30 tahun.
Saya menerawang, Halaman Belakang hadir bak tukang bakso ditengah derasnya hujan, memberi tawaran kehangatan bagi sesiapa yang mendamba, hahah. Anak-anak disana butuh rumah baca, madrasah keempat. Butuh Kak Fikri, yang berpotensi membuat keajaiban bagi mereka. Dan Kak Fikri dengan intuisi kepemudaannya (yang hampir kadaluarsa), tepat sekali menginisasi hadirnya rumah baca tersebut. Seperti gembok ketemu kunci: cocok. Klik.
"Terus ke depannya, untuk taman baca ini, rencanamu apa, Fik?" Tanya Kak Anaz, di sesi yang (agak) serius, sesi sharing komunitas.
"Aku sih mau bikin setiap hari minggu itu ada kelas menulis. Anak-anak aku minta menulis tentang kegiatannya sehari-hari, minimal itu deh, mereka terbiasa dengan bercerita lewat tulisan. Udah, itu dulu aja." Kurang-lebih begitulah jawaban Kak Fikri. Maafkan jika ada klausul yang salah, saya ini pengingat yang buruk.
[caption id="attachment_272" align="aligncenter" width="526"] Sesi serius: Ngobrol Bareng Komunitas[/caption]
Sebelum identitasnya sebagai penulis terbongkar, ralat, sebagai pengetik (Kak Fikri gak mau dibilang penulis), saya mudah sekali menebak bahwa Kak Fikri adalah penulis, ralat, pengetik.
Kepeduliaan terhadap budaya tulis-menulis selalu lahir dari mereka yang menggeluti bidang itu, atau minimal, mencintai menulis, ralat, mengetik.
Memoles jiwa anak-anak, dari yang terbata-bata membaca, terbelit-belit menulis kalimat, hingga menjadi anak-anak yang akrab dengan buku dan menulis, terbiasa bercerita lewat bahasa tulisan, bukankah hal yang ajaib?
Jadi, tokoh Karang itu gak bener-bener ilusif, salah satunya yang non-fiksi ya Kak Fikri. Mungkin masih ada ribuan Karang-Karang lainnya yang teronggok dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dan semoga saja terus bermunculan Karang-Karang lain secara sporadis. Duplikasi, terus-menerus.
Dalam versi fiktif, dikisahkan, Karang mengalami konflik yang membuatnya demotivasi dan menarik diri sejauh-jauhnya dari dunia anak-anak. Hidupnya berubah 180 derajat, memburuk, hingga langit kembali menakdirkannya menjadi guru bagi seorang anak yang buta sekaligus tuli, Melati. Kisah ini happy ending, walau di tengah-tengah ada drama yang bengis dan tragis.
Tentu saya gak berharap ada drama di Halaman Belakang. Kak Fikri dan adik-adiknya semoga baik-baik saja. Selalu. Mungkin juga Halaman Belakang ibarat anti-klimaks bagi keabsurdan hidup Kak Fikri, saya murni sok tau hahahah. Saya menerawang, kalau Kak Fikri ikut tes psikologis, hasilnya pasti akan menyimpang dari teori Claudius Galen, yang membagi manusia menjadi 4 jenis: Sanguin - Plegamatis - Melankolis - Korelis. Mungkin saja hasil tesnya : Absurdis - melankolis. 80% Absurdis, 20% melankolis. Lagi-lagi saya sok tau, baiklah, ini hanya paragraf intermezo.
[caption id="attachment_274" align="aligncenter" width="300"] Karang versi film[/caption]
[caption id="attachment_271" align="aligncenter" width="180"] Karang versi non-fiksi (jauhhh beeuttt, yak, hahaha)[/caption]
Mengutip kesan Kak Fikri dalam tulisannya mengenai halaman belakang;
"Lucunya walau repot dan sibuk, ada perasaan aneh yang menyenangkan..."
Jelas sekali bahwa jatuh cinta pada anak-anak bukanlah hal yang ia rencakan. Saya jadi ingat, beberapa tahun silam, saya pun dengan ketidaksengajaan bisa jatuh cinta pada anak-anak. Dan sungguh aneh memang, sekalinya kamu jatuh cinta dengan anak-anak, selamanya kamu akan terus menggemari dunia anak-anak. Perasaan aneh tak terjelaskan.
Mungkin kalian sudah muak dengan tulisan ini, baiklah saya harus segera mengakhirinya: Untuk Kak Fikri a.k.a Karang versi non-fiksi, saya cuma mau bilang; selamat jatuh cinta pada anak-anak. Indonesia bangga punya kamu, Kak. Hahahah. Lalu, apa artinya tulisan itu? Saya cuma pipa yang menyalurkan antara si (potensial) pemberi inspirasi dan si (potensial) penerima inspirasi. Semoga cerita tentang Karang versi non-fiksi ini melahirkan inspirasi baru bagi objek sembarang, siapapun, semoga terinspirasi. Siapapun bisa punya taman baca, termasuk yang urakan dan blarakan! hahaha
Catatan: tulisan ini bisa jadi bener semua, salah semua, atau fifty-fifty. Namanya juga asumsi.
Depok, April 2015
-Saya, yang dilarang jadi fans-nya Kak Fikri, hahhaha
Karang, membangun sebuah rumah baca di sebuah wilayah tidak disebutkan oleh penulisnya. Menelan hari-harinya bersama anak-anak. Potret kehidupan yang begitu harmonis. Pada babak pengenalan cerita, Karang mengingatkan saya pada sosok nyata (atau mungkin ilusi? yang beberapa waktu lalu saya temui. Ah, kebalik, yaz. Sosok yang baru saya temui itu yang mengingatkan saya pada Karang. Dan selanjutnya tulisan ini anggap saja adalah sebuah penerawangan, opini berbumbu apresiasi, yang tentu saja sarat akan kentalnya ilmu ke-(sok)-tahu-an.
Adalah Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (FIKRI), yang pada paragraf-paragraf selanjutnya saya sebut "Kak Fikri".
Berita tentang penggagas, pemilik, sekaligus pengelola sebuah taman baca di pelosok Cirebon, sampai juga ditelinga saya, ralat, sampai juga di hp saya lewat pesan digital dari Kak Anaz.
"Eh, yang punya taman baca yang akan kita singgahi di Cirebon nanti, metal loh orangnya" beberapa minggu sebelum keberangkatan ke Cirebon. Sedikit saya bahas mengenai keberangkatan kami ke Cirebon, 28-29 Maret silam. Arah angin yang dipengaruhi takdirlah yang membuat kami, 19 kepala, rombongan antah-berantah sampai di sebuah taman baca yang.. ajaib!
Beberapa detik kemudian, Kak Anaz mengirimkan poto (mirip manusia) yang seluruh wajahnya tertutup rambut bergelombang, wajah milik: Kak Fikri!
Eeee bujeeettt, ternyata ada ya katanya konon (karna konon katanya sudah terlalu mainstream), seorang metalis yang hatinya tergerak untuk membuat taman baca? (Impresi awal saya terhadap Kak Fikri ini: ia metalis - orang yang metal, rock n roll)
Mengapa saya agak kaget?
Bagi saya, taman baca adalah sebuah ruang yang hidup. Tempat belajar non formal yang mengemban misi mulia, jauh sekali dari perhitungan laba. Rumah baca adalah media dalam membangun budaya membaca, menulis, termasuk pembentukan akhlaktul karimah, penanaman nilai-nilai moral, karakter, ketrampilan, sekaligus jawaban sebagai pencarian jati diri (okeh, ini lebay beeuutt). Intinya rumah baca adalah madrasah keempat, setelah rumah, sekolah, dan masjid (bagi yang aktif mengaji). Merencanakan pembuatan taman baca sampai pada realisasinya bagi saya adalah keputusan yang (kedengarannya) keren.
Imaji macam apa yang ada di lubuk, hati, sanubari kamu mengenai seseorang yang membangun taman baca? Mari lihat ceklis dibawah ini:
√ Cinta anak-anak
√ Berhati Lembut
√ Tutur kata yang indah
√ Klimis
√ Rapih
√ Prestatif di bidang akademik formal
√ Pemenang olimpiade sains (udah menang duluan, walau belum ikut lomba)
√ Aktivis sosial
√ Keibuan/Kebapakkan
Baiklah, naif sekali jika saya memukul rata bahwa pemilik taman baca seharusnya macam begitu. Itu hanyalah steorotip yang terlanjur melekat default di kepala kita bukan?
Punya rambut yang menutupi wajah, jarang mandi, terkesan sinis, apatis, irit bicara, metal, rock n roll, berantakan (dalam hal ini termasuk juga soal hidup, iya, hidup yang berantakan hahaha), pun bisa saja menjadi penggagas, pemilik, sekaligus pengelola taman baca. Beranonim sekali dengan stereotip yang barusan saya identifikasi bukan?
Kak Fikri, yang entah suara malaikat mana yang mampir di telinganya hingga ia memutuskan membuat taman baca di belakang rumahnya, di desa Dompyong Wetan, Cirebon. Sedikit pengenalan mengenai taman baca yang sementara ini disebut "Halaman Belakang" bisa kamu baca disini.
Saya berbisik ke Kak Nopi, "Kak, liat deh, dia bikin sendiri rak bukunya, kreatif banget yak.. simple" saya menunjuk 2 buah rak buku yang tersusun dari rak sepatu plastik, dengan kayu-kayu bekas sebagai pembatasnya. Bukan apa-apa, saya ingat bagaimana persiapan membangunan rumah baca HOS Tjokroaminoto pada Februari lalu, bahkan untuk rak buku saja harus mengimpor seniman dari Cikini, dan itu pun dikerjakan berhari-hari (hasilnya memang kece dan sangat estetis sih). Ada sekitar 1000 buku disana, saya gak sungguhan menghitung. Buku-buku tersebut dari gaji pribadinya Kak Fikri (prokkprookprookk). Taman baca tersebut berkonsep saung terbuka, bukan di ruang tertutup, alasnya ubin, atapnya bambu dan jerami, pilar-pilarnya bambu.
"Rencananya kamu mau kasih nama apa taman baca ini, Kak?" saya memberanikan diri untuk bertanya. Percayalah, memang sangat dibutuhkan keberanian.
"Taman Bermain Waktu, itu dari judul lagu sih..."
Taman Bermain Waktu, hard to leaving.... |
Pertama kali bertemu Kak Fikri, dan setelah membaca (dengan mata bathin) bagaimana interaksinya dengan anak-anak,saya sedikit menyesal mengakui ini, saya langsung teringat dengan Karang. Ya, Karang!
Kalau versi filmnya, Karang diperankan oleh: Fedi Nuril.Kalau kamu memaksakan khayalanmu dengan cara meleburkan fisik sosok Kak Fikri dengan Karang (a.k.a Fedi Nuril), niscaya kamu akan kesulitan sekali. Karna bukan kemiripan fisik yang saya maksud; tapi kemiripin dalam soal ketulusan mengayomi anak-anak (aih, yaz, sok tahu kali ngomongin ketulusan disini! Hahah). Tapi semoga opini saya soal ketulusan ini benar yak.
"Abang... Abang... Ayo belajar..." Dikisahkan, seringkali anak-anak gedor-gedor pintu kamar Kak Fikri untuk minta diajarin belajar. (sementara Kak Fikrinya masih pindah alam, alias tidur)
"Pulang... Pulang sana.." Betapa... Betapa sinisnya jawaban Kak Fikri.
Tapi lihat, betapa anak-anak tidak jera mengulang-ngulang scene itu lagi: gedor-gedor pintu, bangunin Kak Fikri, minta diajarin belajar (walau pada prakteknya lebih banyak main-main ya?). Dan betapa Kak Fikri mengulang kesinisan yang sama. Karna anak-anak tau, kalimat 'pengusiran' Kak Fikri itu tidak serius.
Saya percaya, hati anak-anak adalah cermin ajaib, tidak tembus terhadap bayangan yang manipulatif. Hati anak-anak adalah cermin ajaib, yang memantulkan isi jiwa-jiwa kita. Pemantulan sempurna. Kita yang saya maksud adalah, objeka sembarang, siapa saja yang berniat mendekati dan berinteraksi dengan mereka (anak-anak). Anak-anak selalu tau, siapa yang tulus dan siapa yang manipulatif.
Melihat betapa antusiasnya anak-anak terhadap Abang, saya percaya, hati anak-anak memantulkan jiwa Abang sebagai jiwa yang tulus. (Catatan: tidak pernah ada 'Kak Fikri' di Halaman Belakang, anak-anak mengenalnya dengan sebutan 'Abang'.)
Tantangan Kak Fikri dalam memaksimalkan fungsi rumah bacanya cukup unik. 'Memaksimalkan fungsi' yang saya maksud bukan sekedar arus keramaian saja, karna kalau parameternya hanya ramai saja, jelas sekali taman baca yang baru sebulan ditetaskan ini sudah terbilang sukses. Karna, selalu ramai dengan anak-anak! Sekitar 20-30 pasang sendal mini, warna-warni berserak acak di pelataran tangga rumah baca setiap harinya. Anak-anak setingkat SD sampai SMP yang berasal dari sekitaran rumah Kak Fikri. Minat baca anak-anak itu masih cukup. Cukup rendah. Bagaimana mungkin bisa berminat membaca, jika membaca saja aku sulit? (Mirip iklan apa gitu). Sampai kelas 4 SD pun masih ada yang kesulitan membaca, kelas 2 SD belum bisa membaca. Ruaarrr biyasyaaaa. Jadi kalau anak-anak berkumpul di taman baca, Kak Fikri menjelma guru SD amatiran, yang memiliki beban moral untuk membimbing mereka calistung. Baca, tulis, hitung! Pun orang tua anak-anak itu masuk dalam golongan berada, mereka tidak kekurangan harta, (mungkin) kekurangan kesadaran pentingnya pendidikan anak-anak mereka. Baiklah daripada menyalahkan, salah guru atau salah orang tua, lebih baik mengekor apa yang dilakukan 'Si pembuat keajaiban bagi anak-anak'. A.k.a Karang versi non fiksi. A.k.a Kak Fikri. A.k.a Abang.
Selama hidup, saya sering sekali bertemu dan berinteraksi langsung dengan mereka yang bisa dicap sebagai 'Si pembuat keajaiban bagi anak'. Aktivis-aktivis pendidikan yang begitu memperjuangkan hajat hidup anak-anak, sampai benar-benar membuat keajaiban bagi anak-anak! Nyata, versi non-fiksi. Tapi meraka kebanyakan adalah orang-orang tua. Bapak-bapak, ibu-ibu, om-om. Baru kali ini saya bertemu dengan sosok 'Si pembuat keajaiban bagi anak-anak' versi pemuda. Walau beberapa tahun lagi Kak Fikri harus rela melepas titel 'muda'nya jika definisi muda adalah usia dibawah 30 tahun.
Saya menerawang, Halaman Belakang hadir bak tukang bakso ditengah derasnya hujan, memberi tawaran kehangatan bagi sesiapa yang mendamba, hahah. Anak-anak disana butuh rumah baca, madrasah keempat. Butuh Kak Fikri, yang berpotensi membuat keajaiban bagi mereka. Dan Kak Fikri dengan intuisi kepemudaannya (yang hampir kadaluarsa), tepat sekali menginisasi hadirnya rumah baca tersebut. Seperti gembok ketemu kunci: cocok. Klik.
"Terus ke depannya, untuk taman baca ini, rencanamu apa, Fik?" Tanya Kak Anaz, di sesi yang (agak) serius, sesi sharing komunitas.
"Aku sih mau bikin setiap hari minggu itu ada kelas menulis. Anak-anak aku minta menulis tentang kegiatannya sehari-hari, minimal itu deh, mereka terbiasa dengan bercerita lewat tulisan. Udah, itu dulu aja." Kurang-lebih begitulah jawaban Kak Fikri. Maafkan jika ada klausul yang salah, saya ini pengingat yang buruk.
[caption id="attachment_272" align="aligncenter" width="526"] Sesi serius: Ngobrol Bareng Komunitas[/caption]
Sebelum identitasnya sebagai penulis terbongkar, ralat, sebagai pengetik (Kak Fikri gak mau dibilang penulis), saya mudah sekali menebak bahwa Kak Fikri adalah penulis, ralat, pengetik.
Kepeduliaan terhadap budaya tulis-menulis selalu lahir dari mereka yang menggeluti bidang itu, atau minimal, mencintai menulis, ralat, mengetik.
Memoles jiwa anak-anak, dari yang terbata-bata membaca, terbelit-belit menulis kalimat, hingga menjadi anak-anak yang akrab dengan buku dan menulis, terbiasa bercerita lewat bahasa tulisan, bukankah hal yang ajaib?
Jadi, tokoh Karang itu gak bener-bener ilusif, salah satunya yang non-fiksi ya Kak Fikri. Mungkin masih ada ribuan Karang-Karang lainnya yang teronggok dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dan semoga saja terus bermunculan Karang-Karang lain secara sporadis. Duplikasi, terus-menerus.
Dalam versi fiktif, dikisahkan, Karang mengalami konflik yang membuatnya demotivasi dan menarik diri sejauh-jauhnya dari dunia anak-anak. Hidupnya berubah 180 derajat, memburuk, hingga langit kembali menakdirkannya menjadi guru bagi seorang anak yang buta sekaligus tuli, Melati. Kisah ini happy ending, walau di tengah-tengah ada drama yang bengis dan tragis.
Tentu saya gak berharap ada drama di Halaman Belakang. Kak Fikri dan adik-adiknya semoga baik-baik saja. Selalu. Mungkin juga Halaman Belakang ibarat anti-klimaks bagi keabsurdan hidup Kak Fikri, saya murni sok tau hahahah. Saya menerawang, kalau Kak Fikri ikut tes psikologis, hasilnya pasti akan menyimpang dari teori Claudius Galen, yang membagi manusia menjadi 4 jenis: Sanguin - Plegamatis - Melankolis - Korelis. Mungkin saja hasil tesnya : Absurdis - melankolis. 80% Absurdis, 20% melankolis. Lagi-lagi saya sok tau, baiklah, ini hanya paragraf intermezo.
[caption id="attachment_274" align="aligncenter" width="300"] Karang versi film[/caption]
[caption id="attachment_271" align="aligncenter" width="180"] Karang versi non-fiksi (jauhhh beeuttt, yak, hahaha)[/caption]
Mengutip kesan Kak Fikri dalam tulisannya mengenai halaman belakang;
"Lucunya walau repot dan sibuk, ada perasaan aneh yang menyenangkan..."
Jelas sekali bahwa jatuh cinta pada anak-anak bukanlah hal yang ia rencakan. Saya jadi ingat, beberapa tahun silam, saya pun dengan ketidaksengajaan bisa jatuh cinta pada anak-anak. Dan sungguh aneh memang, sekalinya kamu jatuh cinta dengan anak-anak, selamanya kamu akan terus menggemari dunia anak-anak. Perasaan aneh tak terjelaskan.
Mungkin kalian sudah muak dengan tulisan ini, baiklah saya harus segera mengakhirinya: Untuk Kak Fikri a.k.a Karang versi non-fiksi, saya cuma mau bilang; selamat jatuh cinta pada anak-anak. Indonesia bangga punya kamu, Kak. Hahahah. Lalu, apa artinya tulisan itu? Saya cuma pipa yang menyalurkan antara si (potensial) pemberi inspirasi dan si (potensial) penerima inspirasi. Semoga cerita tentang Karang versi non-fiksi ini melahirkan inspirasi baru bagi objek sembarang, siapapun, semoga terinspirasi. Siapapun bisa punya taman baca, termasuk yang urakan dan blarakan! hahaha
Catatan: tulisan ini bisa jadi bener semua, salah semua, atau fifty-fifty. Namanya juga asumsi.
Depok, April 2015
-Saya, yang dilarang jadi fans-nya Kak Fikri, hahhaha